Tentunya gak masuk akal dan menggelikan kalau kita mengharapkan Indiana Jones and the Dial of Destiny akan menjadi film Indiana Jones terbaik sepanjang masa melebihi penampilan pertamanya dalam Raiders of the Lost Ark, tapi wajar apabila kita penonton mengharapkan salam terakhir Indiana Jones ini akan menjadi suatu lagu angsa yang pantas menjadi penutup waralaba Indiana Jones. Yap kita harus berani mengakui bahwa tidak akan ada yang bisa menggantikan Harrison Ford sebagai Indiana Jones (maaf, Chris Pratt dan Nathan Fillion tidak akan bisa mendekati), dan selagi Harrison Ford masih ada umur sudah sepantasnya kita berani menciptakan suatu finalitas bagi waralaba ini dan mengucapkan selamat tinggal terindah untuk Indiana Jones.

Sutradara James Mangold yang menakhodai film ini berhasil melaksanakan tugas serupa dengan menyutradarai Logan, sebuah film yang menutup kisah Logan/Wolverine (Hugh Jackman) dan Profesor Charles Xavier (Patrick Stewart) dengan apik. Kegagalan James Mangold dalam menghantarkan sebuah salam perpisahan serupa bagi Indiana Jones menurut hemat saya berasal dari ketidakberanian para pencipta film ini untuk benar-benar menutup waralaba Indiana Jones.

Sebelumnya kita sudah dua kali melihat salam perpisahan Indiana Jones secara tersirat. Pada akhir film ketiga, Indiana Jones and the Last Crusade, Indy bersama bapaknya dan teman-temannya naik kuda menuju matahari terbenam, sebuah simbol film koboi untuk menandai akhir cerita. Sallah (John Rhys-Davies) dan Marcus Brody (Denholm Elliott), dua karakter dalam film pertama, kembali untuk mengiringi Indy menutup kisahnya. Di film keempat, Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, Indy menikah dengan cinta lamanya, Marion (Karen Allen), dan kita seperti melihat mereka akan hidup damai dan Indy gantung topi. Oh tapi tidak, melangkah keluar dari gereja ia mengambil topi fedoranya dari anaknya (Shia LeBoeuf)… Indiana Jones tidak siap gantung topi, pun tidak diwariskan ke anaknya.

Awal film ini sesungguhnya sudah mempersiapkan kita untuk babak penutup Indiana Jones. Kita dihadirkan pada sosok Indiana Jones tua yang kian tak menemukan tempat dan makna hidup di usia senjanya. Indy gak suka dengan tingkah anak muda yang berisik. Walaupun ia antusias mengajar, mahasiswa2nya tampak bosan. Sangat kontras dengan film pertama, Raiders of the Lost Ark, ketika Prof. Jones ngajar, mahasiswa-mahasiswi antusias dan mahasiswi2 duduk paling depan karena mereka naksir. Bahkan ada satu mahasiswi yang merem-melek dan ternyata dia nulis “Love You” di kedua kelopak matanya hehehe. Tentunya ini karena pada waktu itu Harrison Ford masih muda, ganteng, dan para pembuat film—George Lucas dan Steven Spielberg—juga orang muda. Indiana Jones adalah apa yang mereka bayangkan sebagai diri mereka, suatu proyeksi maskulinitas para pembuat film. Di tahun 1969 dalam film Dial of Destiny ini, Indy sudah dianggap sama tuanya dengan objek-objek arkeologi yang dia ajarkan. Ketidakrelevanan Indy dengan masa kini semakin dipertajam ketika tiba2 ada sekelompok mahasiswa memotong kuliah, bawa TV untuk mempertontonkan pendaratan di Bulan. Mereka tak tertarik dengan masa lalu. Kemajuan teknologi dan masa depan semakin meninggalkan Indy, profesor tua yang mempelajari masa lalu dan memasuki masa pensiun.

SPOILER ALERT. Jangan baca selanjutnya kalau belum nonton filmnya.

Tentunya ini kontras dengan sosok tokoh antagonis Jürgen Voller alias Schmidt (Mads Mikkelsen), ilmuwan Nazi yang direkrut NASA untuk menghantarkan manusia ke Bulan (eh ini berdasarkan kisah nyata loh. Wernher von Braun dan banyak ilmuwan-ilmuwan ilmu roket yang memimpin NASA pada tahun 1960an adalah mantan anggota Partai Nazi). Walaupun Voller adalah orang lama seperti Indy, bukan hanya dia bisa beriring dengan derap waktu, tapi bahkan ia ikut menciptakan masa depan dengan terlibat dalam pengembangan teknologi yang bisa membawa manusia ke Bulan. Ketika diperkenalkan sebagai ilmuwan NASA mantan Nazi, dia menjadi sosok yang kontras dengan Indy, walaupun kemudian dibuka bahwa ia juga terjebak di masa lalu dan bahkan ingin kembali ke masa lalu untuk mengubah sejarah.

Saya ingin mencintai akhir film ini sebagaimana ditampilkan oleh James Mangold dan kru. Menjelang akhir film, Helena (Phoebe Waller-Bridge) menyadarkan Indy bahwa masih ada tempat di dunia modern untuknya, bahwa masih akan ada banyak orang yang merindukannya. Namun Indy pulang kembali ke jamannya tidak melalui pilihannya sendiri, melainkan karena ditabok Helena, ia tak sempat memutuskan untuk dirinya sendiri. Tentu ini sangat berbeda dengan akhir film ketiga, ketika Indy tergantung di tepi jurang hendak meraih Cawan Suci, bapaknya membujuk agar merelakan Cawan Suci tersebut hilang ditelan jurang (Tentunya ini ada makna tersendiri yaitu bahwa bapaknya juga rela melepas obsesi seumur hidupnya demi rekonsiliasi dengan anaknya). Sulit untuk mencintai adegan penutup di mana Indy disangkal agensinya. Di adegan terakhir, Marion muncul dan berekonsiliasi dengan Indy. Penanda bahwa Indy siap pensiun, meninggalkan dunia petualangan sinting, dan hidup tenang bersama Marion. Namun… di adegan terakhir Indy mengambil topinya yang sedang digantung, sebuah isyarat bahwa para pembuat film tak siap memensiunkan Indy selamanya. Kembali saya kesulitan untuk mencintai adegan penutup yang setengah hati ini. Selain untuk efek nostalgia, Sallah dan Marion menjadi dua kameo paling gak penting dalam film ini.

Mematikan Indiana Jones dan bahkan lebih gamblang lagi, menunjukkan jenazahnya, terasa seperti suatu trik yang basi yang sudah terlalu sering dilakukan untuk menutup suatu kisah. Wolverine dan Profesor X dimatikan. Han Solo dimatikan. James Bond dimatikan. Haruskah kita melakukan itu kepada Indiana Jones? Saya pikir, ya harus. Sudah menjadi kebiasaan pembuat film untuk terus menerus memerah waralabanya sampai kering. Selama suatu karakter gak terlihat mayatnya, suatu karakter masih bisa dieksploitasi terus menerus. Boro-boro gak terlihat mayat, sudah mati saja masih bisa dihidupkan kembali… contohnya Star Trek III, di mana Spock bisa dihidupkan kembali lewat sulapan ala2 Vulcan. Terang-terangan mematikan Indiana Jones dan menunjukkan jenazahnya adalah cara terbaik untuk benar-benar menutup buku, dan memberikan kita penonton sebuah kesempatan untuk benar-benar mengucapkan salam perpisahan kepada Indiana Jones.

Seperti apa akhir yang indah bagi Indiana Jones? Beginilah akhir kisah Indy versi saya. Sepanjang film kita melihat Indy semangat banget mencari roda gigi Antikitera. Kita berpikir ia sudah menemukan kembali makna hidupnya, menemukan kembali kesenangan memburu artefak untuk menguak misteri masa lalu, apalagi ketika ia menemukan Helena lebih mengejar kekayaan dan kejayaan bak tentara bayaran, beda dengan dia sendiri yang lebih mementingkan ilmu pengetahuan. Kita pikir ia semangat karena ingin membuktikan pada Helena bahwa prinsip-prinsip hidupnya masih relevan. Namun ternyata Indy antusias mengejar roda gigi Antikitera karena diam-diam ia berharap roda itu bisa benar-benar membawanya ke masa lalu, ke masa ketika dia masih relevan, terbayang ia kembali ke zaman Nazi ketika dia kembali muda dan menggebuk Nazi. Ketika mereka balik ke jaman Republik Romawi (WTF banget tapi ya udahlah), Indy benar-benar menemukan kembali gairah hidupnya. Terlebih ketika bertemu Archimedes, dia lalu mantap ingin tinggal di jaman itu karena ia telah menemukan kembali jati dirinya sebagai manusia yang membaktikan hidupnya untuk mempelajari masa lalu. Helena awalnya memaksa namun ia menerima kenyataan itu karena dia juga pelan-pelan sadar—melalui interaksinya dengan Indy—bahwa mengejar ilmu pengetahuan lebih penting daripada mengejar kekayaan. Sama seperti dalam Indiana Jones and the Temple of Doom, di mana Indy berubah dari pemburu harta menjadi pahlawan, Helena juga berubah dan kini mewarisi semangat Indy. Ia juga sadar bahwa Indy tampak lebih bahagia, beda dengan sebelum-sebelumnya yang hobi ngomel. Mereka berpisah dan Helena kembali ke jamannya sementara Indy tinggal bersama Archimedes.

Lompat beberapa tahun kemudian di masa depan, Helena tampak lebih matang dan sedang berada di suatu situs penggalian arkeologi. Ia taat prosedur dan berdiskusi dengan warga lokal, tanda bahwa ia menghormati etika pelestarian situs purbakala (berbeda dengan Indy yang menghancurkan situs purbakala). Ia bertopi rada mirip Indy, dan bercerita kepada beberapa mahasiswanya yang membantunya tentang pentingnya mempelajari situs ini untuk mempelajari masa lalu. Seperti mahasiswa2 Indy dalam Raiders, mahasiswa2 Helena antusias mendengarkan. Ini adalah kuburan suatu tokoh penting dalam sejarah, demikian ujarnya. Ketika ia membuka kuburan itu, kita melihat tengkorak dan kerangka, dan di sekelilingnya ada banyak artefak, beberapa di antaranya adalah… topi fedora, jaket kulit, dan cambuk. Semua sudah lapuk namun yap… Ini adalah kuburan Indiana Jones. Helena tersenyum penuh arti, ternyata ia telah menemukan artefak purbakala yang berisi petunjuk di mana Indy dikubur ribuan tahun lalu. Artefak2 di sekitar kerangka Indy adalah tablet2 bertulis riwayat2 masa lalu, dihantarkan Indy melalui waktu untuk dipelajari generasi penerus. Perasaan Helena campur aduk. “Ini kuburan siapa Bu?” tanya mahasiswanya. “Ini guruku dan bapakku,” jawabnya. Jenazah Indiana Jones kemudian diangkat dan dikebumikan di makam keluarga, dihadiri antara lain oleh Marion, Sallah, Short Round (Ke Huy Quan), dan juga Willie Scott (Kate Chapsaw). Mereka saling bertukar cerita dan kenangan… lalu muncul end credit diiringi Raider’s March gubahan John Williams.

Leave a comment