Film horor memang salah satu genre film paling populer di Indonesia. Film Pengabdi Setan 2 baru-baru ini dirilis dan memecahkan rekor jumlah penonton tertinggi di hari pembukaan dengan lebih 700 ribu penonton, mengalahkan KKN Di Desa Penari (yang juga film horor dan juga populer) beberapa bulan sebelumnya dengan 315 ribu penonton. Salah satu bahan obrolan yang sampai ke saya adalah soal adegan yang katanya berlokasi di Observatorium Bosscha, menggambarkan pocong-pocong lagi diospek sujud. Beberapa orang lumayan sebel melihat adegan Observatorium Bosscha ditampilkan sebagai tempat angker dalam film horor (karena merusak citra Bosscha) dan membandingkan penggambaran Bosscha yang lebih positif dan tidak horor misalnya dalam film Petualangan Sherina. Observatorium Bosscha sendiri kemudian memberikan penjelasan bahwa mereka tidak terlibat dalam pembuatan film ini.

Kalau dikatakan film ini hanya mencari uang belaka makanya film ini menampilkan Bosscha, saya pikir hal itu tidak benar. Mencari uang adalah hal yang wajar apalagi di jaman kapitalisme lanjut ini, dan kita semua melakukannya demi menyambung hidup dan membayar tagihan. Namanya juga pembuat film, selain mau nyari duit sebagaimana kita semua, pasti juga ada kebutuhan untuk penceritaan (storytelling), jadilah dipilih Bosscha barangkali karena gedung tua peninggalan Belanda dan persepsi gedung tua sebagai tempat angker itu sudah bersarang di benak semua orang Indonesia. Jangankan masyarakat awam, saya sendiri yang dulu berkuliah di Jurusan Astronomi ITB dan sering ke Bosscha untuk kuliah dan ngamat sudah sering mendengar cerita hantu baik dari senior-senior saya, warga lokal, maupun dari Pak Jaga (FYI Pak Jaga ini istilah kami untuk satpam Bosscha. Kami sebut Pak Jaga karena posisi ini sudah ada jauh sebelum istilah satpam muncul. Tugas Pak Jaga, selain menjaga keamanan baik siang dan malam hari, juga untuk memberi tahu astronom kalau cuaca cerah). Soal percaya atau tidak percaya hantu itu tentunya tergantung pribadi masing-masing, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa hantu dan cerita hantu adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, dan persepsi soal Bosscha sebagai tempat berhantu itu ada dan bukan hanya di masyarakat awam.

Saya sendiri belum nonton film Pengabdi Setan 2 ini, tapi dari obrolan dengan beberapa teman, nama Observatorium Bosscha sama sekali tidak disebut dalam film tersebut, jadi dalam cerita fiksi ini sebenernya ini bisa observatorium generik aja. Kalau memang benar nama Bosscha gk disebut, ini menjelaskan kenapa tidak ada syuting di lokasi dan kenapa Bosscha gak dimintakan ijin atau bahkan diberi tahu oleh para pembuat film. Bosscha juga bukan lokasi utama cerita film ini, lokasi utamanya ada di rusun. Tentu beda dengan film Petualangan Sherina, di mana Bosscha bukan hanya disebut nama, tapi juga menjadi salah satu lokasi penting dan juga menjadi alat cerita untuk mengungkap karakter Sadam yang meskipun tukang bully tapi ternyata menyukai astronomi.

Perihal kekhawatiran bahwa citra Bosscha jadi rusak dan meningkatkan persepsi bahwa Bosscha adalah tempat angker, menurut hemat saya ini berlebihan. Pertama, persepsi bahwa gedung tua adalah tempat angker itu sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia, satu biji film horor saja—walaupun melanggengkan persepsi—tidak akan berpengaruh. Sejak dari dulu sudah banyak orang Indonesia yang percaya mengenai gedung berhantu. Sewaktu kuliah saya sering membantu memandu pengunjung Observatorium Bosscha, baik memberikan ceramah populer mengenai astronomi atau memandu di teleskop. Pasti ada saja pengunjung yang bilang ini gedung banyak hantunya dan mengaku bisa melihat hantu. Anggapan mengenai gedung berhantu sudah ada di masyarakat jauh sebelum munculnya film ini dan tidak mengurangi jumlah pengunjung Observatorium Bosscha. Kedua dan yang lebih penting, orang bebas bercerita dan masyarakat juga bukan orang bodoh, mereka bisa membedakan antara fiksi dan kenyataan. Ada banyak film yang menggambarkan peledakan atau penyerangan Gedung Putih di Washington DC, misalnya, tidak serta merta citra Gedung Putih jadi rusak. Penonton bisa membedakan ini kisah fiksi. Pembuat film juga tidak minta ijin kepada Presiden atau pemerintah Amerika Serikat untuk syuting atau minta ijin meledakkan Gedung Putih dalam cerita. Mereka bikin saja model Gedung Putih yang akurat atau CGI untuk diledakkan.

Mengapa pembuat film ini memilih sebuah observatorium sebagai tempat setan bergentayangan, silakan ditonton dan tafsirkan sendiri.

Meminta agar film ini disensor atau bahkan membawa hal ini ke pengadilan karena pencemaran nama baik jelas bukan langkah bijak, apalagi kalau benar nama Bosscha sama sekali gak disebut di situ. Bahkan seandainya ada nama Bosscha disebut sebagai lokasi, juga tidak bijak karena jelas2 ini cerita fiksi dan orang bebas bercerita. Penonton tentunya bisa membedakan mana kenyataan dan mana khayalan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: