Di hari terakhir tahun 2019, saya dan istri secara spontan memutuskan untuk bepergian ke New York naik bis antar kota. Kami berangkat pagi-pagi dari DC dan tiba siang hari. Rencananya kami akan numpang di rumah teman kami di Queens, tempat kami biasa numpang dan bercengkrama. Akan tetapi mereka baru pulang kerja malam hari, jadi kami punya banyak waktu senggang di Manhattan. Setelah makan siang kami memutuskan untuk menggunakan waktu kami untuk nonton film Star Wars episode terbaru dan pamungkas yaitu The Rise of Skywalker. Bioskop terdekat dari tempat perhentian bis kami di dekat Penn Station di Manhattan adalah bioskop AMC di pojokan 34th Street & 8th Avenue. Jadilah kami nonton bioskop sambil bawa gembolan yang terdiri atas koper dan bekal makanan untuk di perjalanan.
Star Wars Episode IX: The Rise of Skywalker (TRS) cukup mengesalkan saya karena mementahkan ide-ide segar dan menarik yang diberikan sutradara Rian Johnson di film sebelumnya yaitu Episode VIII: The Last Jedi (TLJ). TRS memang disebut-sebut sebagai sebuah “koreksi arah” atas film-filmnya sebelumnya, terutama setelah TLJ dan Solo—lakon carangan Star Wars yang menceritakan masa muda Han Solo—dianggap gagal di pasaran, namun TRS jadi terasa sebagai sebuah usaha untuk menyenangkan penggemar dan menjawab keluhan-keluhan mereka ketimbang sebagai sebuah pernyataan si pembuat film. Beda dengan TLJ yang tampak jelas punya sikap dan nyali, sesuatu yang semakin dibutuhkan dunia saat ini.
TLJ punya banyak ide-ide baru yang menarik dan saya sambut baik karena berpotensi membawa Star Wars pada arah baru yang lebih segar. Rian Johnson yang menulis cerita dan menyutradarai TLJ berani, misalnya, memperkukuh asal-usul Rey yang bukan siapa-siapa. Pada film sebelumnya, Episode VII: The Force Awakens (TFA), Rey digambarkan sebagai pemulung besi rongsokan yang peka pada The Force, namun tidak jelas asal-usulnya. Selama ini, dalam mitologi Star Wars, sudah ajeg dibangun narasi bahwa kepekaan pada The Force hanya diturunkan melalui hubungan darah. Luke Skywalker yang menjadi pahlawan pada trilogi asli (Episode IV hingga VI) dapat menjadi pengguna The Force karena bapaknya yaitu Anakin Skywalker (kemudian menjadi Menak Sith dengan nama Darth Vader) adalah pengguna The Force juga, dan demikian pula keponakannya Kylo Ren juga sama karena ia adalah anaknya Putri Leia yang kembaran Luke.
Karena kita masih terpaku pada konsep ini, jadilah timbul banyak pertanyaan dalam benak penggemar lama Star Wars saat menonton TFA: Rey ini anak siapa? Dia bukan siapa-siapa, seorang pemulung besi tua yang asal-usulnya gak jelas, tapi tau-tau piawai dalam menggunakan The Force dan bertarung dengan lightsaber, bahkan bisa mengalahkan Kylo Ren dan menorehkan codet di mukanya, padahal Kylo Ren ini jelas banget bibit-bebet-bobotnya yaitu ia adalah bagian dari wangsa Skywalker. Dalam Episode IV aja ada adegan Luke latihan sama Empu Jedi Obi-Wan Kenobi walaupun hanya sebentar, lha Rey ini gak pakai latihan apa2 ujug2 bisa mengalahkan Kylo Ren. Kita bisa melihat bahwa identitas Rey memang sengaja dibuat misterius karena itu adalah alat pencerita yang disiapkan sutradara TFA, J.J. Abrams, untuk membuat penonton tetap penasaran dan identitas Rey akan dibuka kemudian. Maka dari itu semenjak TFA keluar, spekulasi para penggemar pun bermunculan mengenai asal-usul Rey: Rey adalah anak Luke Skywalker, Rey adalah anak Han Solo dan Leia (jadi sodaraan dengan Kylo Ren) macam Jacen dan Jaina dalam Expanded Universe, Rey adalah anak Han Solo tapi dari perempuan lain, Rey adalah cucu Obi-Wan Kenobi, atau Rey adalah cucu Kaisar Palpatine. Namun semua ini tentunya bersandar pada pandangan yang selama ini sudah dianggap sebagai suatu kebenaran yaitu bahwa hanya segelintir orang keturunan wangsa tertentu saja yang bisa menjadi pengguna The Force. Kalau kamu orang gak jelas mana mungkin kamu bisa jadi pengguna The Force. Akan tetapi, dalam TLJ, Kylo Ren membuka asal-usul Rey: “Orang tuamu hanya pemulung kotor yang menjualmu untuk beli miras. Mereka sudah mati di kuburan orang miskin di gurun Jakku.” Bisa saja Kylo Ren ngibul dan mengatakan ini hanya karena dia ingin mengajak Rey bergabung dengannya (“Kamu mungkin bukan siapa-siapa, tapi tidak bagiku,” demikian bujuk rayu Kylo Ren pada Rey. Memang keduanya berseberangan dan saling tidak suka tapi mereka juga saling tertarik satu sama lain, yah benci tapi rindu lah), namun TLJ punya banyak kesamaan dengan The Empire Strikes Back saat Darth Vader membuka asal-usul Luke, saat ia berkata “Aku bapakmu. Galilah perasaanmu, kamu tahu itu benar.” Senada dengan Vader, Kylo Ren juga berkata pada Rey, ”Kamulah yang tahu kebenarannya.” Kita kemudian tahu bahwa Darth Vader tidak berbohong pada Luke, jadi tentunya Kylo Ren tidak berbohong saat ia berkata bahwa Rey memang bukan siapa-siapa. Inilah pernyataan Rian Johnson yang sangat berani dalam TLJ dan menolak anggapan lama. Engkau tidak harus berasal dari wangsa tertentu untuk bisa menjadi pengguna The Force yang mumpuni. Potensi itu sudah ada dalam dirimu meskipun engkau hanyalah pemulung rongsokan dari planet gurun gak jelas di pinggiran galaksi. Pandangan subversif yang menjungkirbalikan paham lama ini semakin dipertegas dalam adegan terakhir TLJ: Seorang budak anak pengurus kandang kuda, terinspirasi oleh kisah heroik Luke, tau-tau bisa menarik sapu ke tangannya dengan menggunakan telekinesis The Force, seraya menatap bintang-bintang (barangkali Rian Johnson terinspirasi oleh Oscar Wilde yang menulis, “kita semua ada di dasar got, tapi beberapa dari kita menatap bintang-bintang”).
Pernyataan berani Rian Johnson yang sangat egalitarian ini bahwa daya mistis The Force tidak bergantung pada siapa keluargamu ini senada dengan gambaran besar TLJ yang ingin berkata bahwa pahlawan bisa datang dari mana saja: Seorang mantan tentara anak yang mengikuti nuraninya dan menolak membunuh rakyat sipil lalu desersi (Finn). Seorang montir pemberontak yang sadar betul bahwa kemewahan dan kemegahan sebuah planet kasino dibangun di atas perbudakan dan eksploitasi (Rose Tico). Dalam sejarahnya, Star Wars tidak bisa dikatakan sebagai sebuah waralaba yang membawa pesan progresif dan inklusivitas, namun kali ini Rian Johnson berani merombak Star Wars dengan memasukkan wacana ini.
Akan tetapi, seluruh pernyataan ini serta-merta dimentahkan dalam episode berikutnya. Hal yang paling kentara tentunya ketika ujug-ujug identitas asli Rey dibuka sebagai cucu Kaisar Palpatine… wak waaawww… teryata Rey bukan siapa-siapa, dia adalah keturunan dari pengguna The Force paling mumpuni se-galaksi, pantesan dia jago banget sampai bisa mengalahkan Kylo Ren! Lagi-lagi kita kembali kepada status quo: kemampuan untuk memanipulasi The Force hanya bisa diturunkan lewat hubungan darah! Kalau kamu gak punya hubungan apa-apa dengan seorang pengguna The Force, ya kelar deh idup loe… jangan berharap macam-macam bisa jadi jagoan The Force, kamu paling banter ya jadi penyelundup macam Han Solo atau jadi pemburu uang jasa macam Boba Fett.
Dalam film I, Daniel Blake, sutradara Ken Loach dan penulis Paul Laverty menggambarkan tokoh utama mereka, Daniel Blake, sebagai tukang kayu biasa saja, tapi dia tetap melakukan aksi kepahlawanan karena didorong oleh semangat solidaritasnya terhadap sesama kaum proletar rentan (disebut juga kaum prekariat). Kenapa sih Star Wars harus bersandar pada ketokohan, bahwa pahlawan itu harus punya bibit-bebet-bobot yang jelas agar bisa mendapat legitimasi sebagai pahlawan? Kenapa Star Wars sulit menerima ide bahwa jagoan atau pahlawan itu bisa siapa saja?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat Star Wars sebagai sebuah kisah mitologi modern, bak kisah-kisah Iliad, Raja Arthur, atau Mahabharata dan Ramayana. Banyak orang melihat Star Wars sebagai sebuah kisah fiksi-ilmiah (karena menggambarkan teknologi modern dan bertempat di antariksa), namun saya sendiri tidak melihat Star Wars sebagai fiksi-ilmiah hanya karena ada perjalanan antar-bintang, tembak-tembakan dengan senjata laser, dan lokasi yang bertempat di antariksa. Star Wars buat saya lebih dekat sebagai sebuah epos fantasi macam Lord of the Rings atau bahkan suatu kisah mitologi macam Mahabrahata yang kebetulan berlokasi di antariksa.
Bila kita membaca Star Wars sebagai sebuah kisah mitologi, maka wajar apabila pahlawan-pahlawannya ber-“darah biru”. Raja Arthur, misalnya, disebut sebagai anak dari Raja Uther Pendragon, dan oleh karena itu adalah pewaris sejati takhta Kerajaan Inggris. Buktinya adalah kemampuan Arthur menarik Pedang Ekskalibur yang tertancap pada batu (ngomong2, ada satu adegan dalam TFA yang mengambil motif dari kisah Raja Arthur ini, yaitu saat lightsaber Anakin yang diwariskan ke Luke tertancap di salju lalu Rey menariknya dengan mudah ke genggamannya dengan menggunakan The Force). Inti cerita Mahabharata sesungguhnya adalah perebutan takhta kerajaan Hastinapura oleh dua keluarga (Kurawa dan Pandawa) yang tentunya bukan keluarga gak jelas.
George Lucas menulis Star Wars karena ia terinspirasi kisah-kisah petualangan Flash Gordon yang dinikmatinya semasa kecil. Ia sendiri ingin membikin film Flash Gordon di tahun 1970an namun gagal memperoleh hak cipta dan akhirnya menuangkan ide-idenya ke dalam Star Wars. Namun Star Wars perdana bukan hanya berisi kisah petualangan antariksa ala-ala Flash Gordon, namun lebih itu Star Wars juga terbaca sebagai sebuah kisah mitologi modern. Ini karena George Lucas menggunakan sebuah buku, The Hero with a Thousand Faces, sebagai acuan dalam proses penulisan Star Wars.
Buku The Hero with a Thousand Faces ditulis oleh Joseph Campbell dan terbit pada tahun 1949. Campbell adalah seorang profesor sastra ahli perbandingan mitologi dan perbandingan agama. Dalam buku The Hero with a Thousand Faces, Campbell membandingkan berbagai kisah mitologi dan menemukan banyak kesamaan dalam cerita-cerita tersebut sehingga bisa didefinisikan semacam pola atau pakem yang dinamakan monomyth. Ternyata epos kepahlawanan memiliki banyak tahapan yang kurang-lebih sama: Seorang muda dengan latar belakang biasa saja mengalami suatu panggilan untuk melakukan petualangan dan bertemu sosok mentor (Luke menemukan pesan rahasia dari seorang cewek cakep—yang dia taksir—untuk seorang jendral tua yang ternyata adalah seorang Empu Jedi. Beliau membutuhkan bantuan Luke mengantarkan suatu robot ke sarang pemberontak karena robot ini menyimpan suatu informasi yang bisa mengalahkan musuh mereka). Ia menolak panggilan itu (Luke harus membantu paman dan bibinya di pertanian embun) meskipun pengen (kehidupan di pertanian embun amat membosankan dan ia ingin melihat dunia), namun sesuatu terjadi yang membuat ia melampaui ambang keraguan dan mantap melakukan petualangan (dibunuhnya Paman dan bibi Luke oleh tentara Kekaisaran membuat ia mantap mau mempelajari The Force dan mengikuti jejak bapaknya menjadi Ksatria Jedi), dan seterusnya sang tokoh melampui berbagai ujian sehingga akhirnya ia menjadi pahlawan dan mengalami perubahan karakter: Ia bukan lagi orang yang sama dari yang kita temui di awal cerita. Legitimasi Luke menjadi pahlawan juga cukup jelas: Pada film pertama, Empu Jedi Obi-Wan Kenobi bercerita bahwa ayahnya Luke adalah sobat karibnya, mereka teman seperjuangan dalam Perang Klon, pilot yang hebat, dan seorang Ksatria Jedi. Ternyata Luke bukan anak petani gak jelas. Film kedua bahkan lebih heboh lagi: Ternyata orang paling jahat di Galaksi, Darth Vader (namun juga paling sakti), adalah bapaknya sendiri. Jeng jeenggg…
Barangkali banyak dari kita membaca kisah-kisah mitologi dan dongeng ini semenjak kecil maka kita jadi mengenali dan menginternalkan kisah-kisah ini. Bawah sadar kita mengenali pola-pola dalam kisah ini, dan juga karakter-karakternya yang juga mengikuti suatu pola dasar (disebut juga arketipe): sosok pendekar, sosok mentor, sosok bapak, dan seterusnya. Karena George Lucas dan kru filmnya menyusun Star Wars dengan mengikuti pola-pola cerita-cerita mitologi yang diidentifikasi dalam The Hero with a Thousand Faces, tidak heran Star Wars menjadi sangat populer dan menjadi kisah mitologi modern, karena pada dasarnya cerita ini adalah kisah dongeng yang sudah pernah kita dengar dan tumbuh besar dengannya.
Namun tentunya Star Wars menjadi basi apabila pakem ini terus diikuti oleh kisah-kisah carangannya. Sebuah waralaba yang ingin sukses sepanjang masa tentunya harus berani mencoba ide-ide segar. Dalam trilogi sekuel Episode VII, VIII, dan IX, bagian pertama yaitu The Force Awakens (TFA) adalah kisah “aman” yang mengikuti pakem yang sudah ada, namun dengan karakter berbeda. Praktis cerita TFA adalah pembuatan ulang Episode IV: A New Hope tapi sosok pahlawannya jadi Rey dan sosok mentornya adalah Han Solo. Dalam episode selanjutnya, The Last Jedi (TLJ), barulah Star Wars menjadi menarik karena seluruh pakem ini dijungkirbalikkan oleh Rian Johnson: Luke Skywalker sang pahlawan dalam trilogi asli menjadi orang tua kumuh yang menolak ke-Jedi-an, jauh panggang dari sosok pahlawan yang dibayang-bayangkan Rey dan tentunya para penonton. Luke dalam TLJ sudah menjadi orang tua, dan kita melihat bahwa Luke tua bukanlah sosok yang kita idolakan dulu saat Luke (dan kita) masih muda. Bukankah salah satu fase terpenting dalam kehidupan kita adalah saat ketika kita menyadari bahwa orang tua kita bukanlah sosok sempurna sebagaimana yang kita kenali dulu saat kita masih kecil? Justru pada saat kita menyadari itu, dengan sekejap kita memanusiakan orang tua kita, karena kita menyadari bahwa mereka juga sama dengan kita yaitu membuat banyak kesalahan dalam hidupnya. Saat kita mendengar Luke menghujat paham Jedi karena gagal mencegah berkuasanya fasisme antariksa dalam wujud Kekaisaran Galaksi, dan bahwa ia berniat membunuh keponakannya sendiri (tapi gak jadi) untuk mencegah kembali berkuasanya sisi gelap The Force, kita terkesiap: Yaoloh Luke aja bisa membuat keputusan bodoh dan lari dari semua itu! Banyak orang tidak siap dengan penggambaran Luke sebagai “manusia biasa” yang penuh cacat cela. Seorang penggemar menganggap Rian Johnson telah mementahkan pencapaian Luke dalam trilogi asli dan demikian tidak menghormati trilogi asli. Namun bukankah kehidupan Luke tidak berakhir ketika kredit Return of the Jedi berjalan?
Apa yang diberikan TLJ adalah pertanyaan sulit mengenai bagaimana menceritakan Star Wars untuk generasi masa kini, dan penonton tidak siap menjawabnya. Padahal jawabannya boleh jadi menyimpan masa depan yang lebih cerah bagi Star Wars. Sayang sekali visi Rian Johnson yang berani ambil risiko dengan mendobrak pakem ini tidak dilanjutkan. “Koreksi-arah” yang dilakukan J.J. Abrams dalam TRS, yang mementahkan hampir seluruh visi Rian Johnson, adalah suatu reaksi Thermidor: Sebuah pembalikan arah menuju posisi yang lebih moderat dan bahkan konservatif. Sayang sekali bahwa Star Wars kembali bermain aman dan memberikan kita sebuah kisah yang menyenangkan namun tidak memperlebar cakrawala kita mengenai apa yang mungkin dalam sebuah waralaba sekuat Star Wars.