Pada suatu hari istri saya memberikan taut menuju suatu laporan diskusi kampus mengenai ke(tidak)bebasan akademik di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Dalam laporan diskusi tersebut, salah satu pembicara diskusi, Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, menutup pemaparannya dengan kisah mengenai seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berkonflik dengan dosennya:
Diakhir pemaparannya, ia pun menceritakan tentang salah satu mahasiswa ITB yang kini bekerja di NASA. Suatu ketika ia melakukan sidang skripsi. Dalam sidang tersebut ia menolak teori yang dibuat oleh dosennya. Sang dosen tidak terima. Ia kemudian memberikan nilai E untuk si mahasiswa ini. Hingga kemudian diadakan sidang terbuka dengan dekan sebagai ketua sidangnya. Hasil dari sidang ini, sang dekan menyetujui teori baru yang dibuat oleh si mahasiswa dan ia pun lulus dengan nilai sempurna sepanjang sejarah jurusan Astronomi. Berkat teori barunya itu, ia mendapat beasiswa untuk melanjutakn [sic] studi di Leiden, Belanda. “Andai semua kampus di Indonesia menerapkan kebebasan akademik seperti di ITB, saya rasa Indonesia akan kaya”, tutup Herlambang. Dan mahasiswa itu bernama Tri L. Astraatmadja.
Herlambang sendiri adalah kawan karib saya semenjak kami sama-sama belajar di Negeri Belanda. Walaupun belum pernah bertemu lagi semenjak kami menyelesaikan studi kami dan meninggalkan Negeri Belanda, namun kami masih sesekali berkontak. Cerita ini memang diketahui oleh teman-teman dekat saya, mungkin Herlambang mendapatnya dari Bapak saya dan kami pernah membicarakannya walaupun saya tak ingat serinci apa. Komentar istri saya pada waktu, kok cerita ini berbeda dengan dia dengar. Yah laporan di atas kan sebuah catatan dari sebuah diskusi, bisa jadi ada lagi penafsiran tambahan dari penulis laporan.
Memang benar bahwa kisah di atas adalah kejadian yang saya alami tahun 2003–2004 saat saya memasuki tahun kelima perkuliahan di ITB. Akan tetapi kejadian sesungguhnya tidaklah seperti yang diceritakan di atas dan ada banyak hal yang tidak akurat dalam penceritaan ini. Saya berniat memberikan beberapa klarifikasi sebelum versi cerita di atas diadopsi menjadi kebenaran oleh banyak orang. Beberapa hal yang bisa saya klarifisikasikan adalah sebagai berikut:
- Benar bahwa saya pernah berkonflik dengan seorang dosen yang mengakibatkan saya mendapat nilai E dan dinyatakan tidak lulus (dan terancam di-DO dari ITB). Benar bahwa saya mengadukan permasalahan ini kepada Dekan untuk dicarikan solusi. Akan tetapi, duduk perkaranya cukup rumit dan membutuhkan banyak kilas balik yang akan saya ceritakan lebih lengkap kemudian. Untuk ringkasnya saja dulu: Konflik ini terjadi dalam suatu kuliah Gelombang yang diampu dosen tersebut (jadi bukan dalam sidang skripsi). Saya tidak menolak teori dosen tersebut, karena ini adalah konteks perkuliahan dan yang kami bahas adalah teori-teori gelombang yang ada dalam buku teks, bukan teori sang dosen. Konflik terjadi karena suatu hari saya tidak memahami dengan baik mengenai materi yang saya presentasikan dan dosen ini (menurut saya) tidak mendidik dengan baik sehingga kami berantem mulut dan akhirnya beliau menandai saya sebagai mahasiswa kurang ajar. Di akhir perkuliahan akhirnya beliau memberi saya nilai E. Biasanya ada semester pendek agar mahasiswa bisa mengulang kuliah-kuliah yang tidak lulus, namun tahun itu tidak diadakan oleh Jurusan Fisika, jurusan yang menyelenggarakan kuliah ini. Saya terancam putus sekolah karena ini adalah mata kuliah wajib yang harus lulus sebelum tahun kelima dan kali ini tak ada kesempatan untuk memperbaikinya. Di kalangan mahasiswa ITB kasus ini biasa dinamakan kasus sarmud (kependekan dari Sarjana Muda yaitu tahapan yang harus dilalui seorang mahasiswa ITB paling lambat dalam waktu 5 tahun setelah masuk ITB). Saya pun mengadukan persoalan ini kepada Rektor dan Dekan, dan Dekan pun membantu mencarikan solusinya yaitu membujuk Jurusan Fisika agar mengadakan semester pendek untuk beberapa kuliah yang membuat beberapa mahasiswa masih tersangkut, salah satunya adalah Gelombang. Saya menjadi satu-satunya mahasiswa dalam kuliah Gelombang semester pendek ini, diampu oleh (untungnya) dosen yang berbeda. Saya lulus dengan nilai maksimal yang bisa diperoleh dalam semester pendek yaitu C. Jadi tidak benar bahwa diadakan sidang terbuka yang dipimpin oleh Dekan dan kemudian Dekan membuat keputusan yang membela saya. Dalam kisah ini ada memang ada suatu sidang terbuka untuk menyelesaikan konflik dosen–mahasiswa, tapi ini tidak terjadi di ITB. Saya akan ceritakan nanti.
- Saya tidak membuat teori baru, dan saya tidak lulus dengan “nilai sempurna sepanjang sejarah Jurusan Astronomi”. Deskripsi ini cukup berlebihan. Sebagaimana sudah dikatakan di atas, konflik saya tidak ada hubungannya dengan skripsi saya dan persidangannya. Skripsi saya biasa-biasa saja, membahas teori yang sudah diketahui dan menganalisis data yang bisa diakses publik, dengan metode yang juga biasa-biasa saja (yah namanya juga mahasiswa S1 tentu standar penelitian skripsinya di bawah penelitian S3). Pada saat sidang skripsi tidak ada kontroversi, pertanyaan yang diajukan cukup biasa-biasa saja, dan umumnya semua lega karena saya akhirnya lulus juga setelah 13 semester(!). Dari 15 orang di angkatan saya, saya orang terakhir yang lulus. Indeks prestasi kumulatif (IPK) saya juga biasa-biasa saja, yaitu 2.86 (skala antara 0.0–4.0, dengan 4.0 terbaik). Ada tujuh nilai D dan setumpuk C, tapi banyak juga yang A dan B terutama di tahun-tahun terakhir. Saya memang orang biasa-biasa saja tapi saya cukup rajin belajar.
- Benar bahwa saya memperoleh beasiswa (dari Leids Universiteits Fonds atau disingkat LUF) untuk menempuh studi S2 Astronomi di Universitas Leiden, namun tentunya itu bukan karena suatu teori baru yang saya buat (saya tidak membuat teori baru dalam skripsi saya, sebagaimana telah saya jelaskan di atas). Saya tidak tahu persisnya mengapa saya dipilih untuk menerima beasiswa tersebut, dan mungkin tidak akan pernah tahu, namun bisa jadi ini karena berkas lamaran saya tidak buruk-buruk amat (nilai TOEFL baik, surat motivasi baik, surat rekomendasi yang baik, dan IPK yang juga tidak buruk-buruk amat) dan juga faktor keberuntungan.
- Tidak benar bahwa saya sedang atau pernah bekerja di Badan Antariksa Amerika Serikat atau NASA. Setelah menyelesaikan S2, antara 2008–2012 saya melanjutkan studi S3 di Universitas Leiden, kemudian antara 2012–2016 saya bekerja sebagai peneliti postdoc di Max-Planck-Institut für Astronomie (MPIA) di Heidelberg, Jerman, dan dari 2016 hingga sekarang saya bekerja sebagai peneliti postdoc di Department of Terrestrial Magnetism (DTM), Carnegie Institution for Science di Washington DC, Amerika Serikat. MPIA dan DTM adalah dua institusi yang baik, saya puas bekerja di situ, dan tidak merasa kurang suatu apa walaupun saya tidak bekerja di NASA. Anggapan bahwa saya sedang/pernah bekerja di NASA, walaupun tidak tepat, saya terima sebagai sebuah doa baik bagi keberlanjutan karier ilmiah saya. Amiiinnn.
Selanjutnya, bagi yang berminat, akan saya ceritakan lebih lengkap mengenai keributan saya dengan dosen Gelombang dan proses penyelesaian konflik tersebut. Cerita ini agak panjang dan dikisahkan berdasarkan ingatan terbaik saya, sekitar 15 tahun setelah kejadian. Mungkin akan ada sedikit perbedaan dari kejadian sesungguhnya lantaran perubahan ingatan dan juga perubahan sudut pandang, namun ada banyak orang-orang lain yang ikut menyaksikan dan mengalami kejadian-kejadian dalam kisah ini.
Pada awalnya saya tidak ada masalah dengan kuliah Gelombang maupun dosennya. Memang dosen yang mengampu mata kuliah ini sudah lama terdengar reputasinya sebagai dosen yang galak, disipliner, dan perfeksionis. Akan tetapi saya tidak terlalu gentar menghadapi dosen ini. Selain karena tak ada pilihan lain juga karena saya sudah pernah berurusan dengan beliau saat saya menjadi asisten praktikum Laboratorium Fisika Dasar (dan tidak pernah ada masalah). Kedisiplinan dosen ini terlihat dalam pertemuan pertama di mana beliau menjelaskan aturan berpakaian dalam menghadiri perkuliahan ini. Dalam presentasinya beliau memberikan contoh-contoh alas kaki yang diperbolehkan dan yang tidak (sepatu dan sepatu-sandal boleh, sandal tidak boleh apalagi sandal jepit. Semua lengkap dengan gambar), kewajiban mengenakan baju berkerah, dan harus sudah hadir di kelas paling lambat 5 menit setelah kuliah dimulai. Cara mengajar beliau menyampaikan materi perkuliahan tidak buruk. Pada masa itu cukup jarang ada dosen yang menggunakan laptop, PowerPoint, dan proyektor untuk menyampaikan kuliah, tapi beliau menaikkannya satu tingkat lagi dengan menghadirkan animasi Flash yang dibuatnya sendiri untuk mengajarkan konsep-konsep teori gelombang. Animasi ini juga dapat diubah parameter-parameternya sehingga kami bisa memahami lebih baik dan mempelajari berbagai kasus dalam fenomena gelombang. Ini cukup mengesankan mengingat usia beliau yang menurut perkiraan saya sudah kepala enam atau paling tidak akhir 50an. Beliau jauh dari stereotipe dosen tua yang gagap teknologi (walaupun beliau memenuhi stereotipe dosen tua yang galak dan disipliner). File-file PowerPoint dan animasi Flash ini juga dibagikan sehingga kami bisa mempelajarinya di luar jam perkuliahan. Saya pribadi merasa sangat terbantu dengan materi-materi ini dan bahkan masih saya gunakan bertahun-tahun sesudahnya.
Keadaan berubah setelah Ujian Tengah Semester (UTS). Beberapa hari setelah UTS beliau masuk ruang kelas sambil marah-marah, kecewa karena tidak ada di antara kami yang nilainya memuaskan. Berapa sesungguhnya nilai kami sama sekali tidak diumumkan dan kertas ujian kami pun tidak dikembalikan sehingga tidak jelas di mana sesungguhnya kesalahan kami. Tidak ada yang berani bertanya karena takut dengan reputasi galak dosen ini. Beliau lalu mengakhiri omelannya dengan menyuruh kami berpikir apakah mau melanjutkan perkuliahan ini atau tidak. Saya pribadi merasa cukup pede bahwa saya mengerjakan ujian dengan baik, namun hingga hari ini saya tidak pernah melihat kembali kertas ujian saya di UTS ini.
Sesi berikutnya beliau mengubah total cara mengajarnya. Semua mahasiswa diperintahkan untuk membentuk kelompok dengan anggota 3–4 orang, lalu menyiapkan materi untuk dipresentasikan di depan kelas. Setiap sesi diberikan topik yang berbeda dan setiap kelompok bergantian menyampaikan topik tersebut. Topik pertama adalah mengenai gelombang elektromagnetik. Kami bergadang menyiapkan materi presentasi gelombang elektromagnetik. Hari berikutnya kelompok saya kebagian giliran pertama untuk mempresentasikan mengenai apa itu gelombang elektromagnetik, dan saya menjadi presenternya. Kalimat pertama saya adalah bahwa gelombang elektromagnetik adalah penjalaran partikel elektromagnetik yaitu foton. Langsung disalahkan oleh beliau. “Wah baru pertama saja kamu sudah salah bagaimana selanjutnya?” Demikian beliau berkata (barangkali yang lebih tepat, gelombang elektromagnetik adalah gangguan serempak pada medan listrik dan medan magnetik. Yah namanya juga mahasiswa ya walaupun pakai “maha” kan tidak setiap saat bisa langsung paham. Harap dimaklumi). Selanjutnya semua ucapan saya selalu disalahkan dan beliau mencibir. Mahasiswa sudah tahun kelima kok begitu saja tidak paham. “Dari mana sinar Matahari terbentuk coba?” tanya beliau, mencoba masuk dari astronomi barangkali saya bisa lebih paham. “Dari reaksi kimia dalam inti Matahari.” Kembali disalahkan sambil menggebrak meja karena dia kesal dengan kebegoan saya. Kawan saya membantu mengoreksi, yang lebih tepat adalah reaksi nuklir. Wah salah lagi deh. Selama ini saya diam saja kalau dibegoin tapi yang membuat saya menjawab balik adalah ketika beliau berkata, “Saya laporkan nanti ke dosen astronomimu! Begini saja kamu tidak paham!” Saya menjawab, “Ya sudah silakan laporkan saja!” Kembali meja digebrak, ”HEI KURANG AJAR KAMU! SUDAH BERHENTI PRESENTASI! MANA SINI MAKALAH KALIAN!” Saya kembali ke tempat duduk, menyerahkan makalah dengan satu tangan, badan menyampingi beliau, tidak menghadap apalagi memalingkan muka saya ke wajah beliau. Rasa hormat saya pada dosen ini, yang terbangun semenjak awal perkuliahan, sudah hilang sama sekali. Tentu saja dia tambah naik pitam. Kembali dia berteriak, “KAMU INI KURANG AJAR SEKALI! LIHAT SAYA! MEMANG SAYA INI SIAPAMU?”
Saya menghadap dan menatap matanya. Selama sedetik-dua detik kami saling bertatapan. Dia marah dan saya juga marah. Tangan saya terkepal ingin menonjok mukanya sambil memaki, namun saya tidak menuruti fantasi kekerasan ini karena saya tidak mau berurusan dengan polisi karena pasal penganiayaan, dan/atau menimbulkan kerepotan yang tidak perlu kalau beliau sampai masuk rumah sakit. Saya hanya menjawab pelan, “Bapak adalah dosen saya,” seraya menyerahkan makalah dengan dua tangan. “KALAU BEGITU PERLAKUKAN SAYA SEPERTI DOSENMU! KURANG AJAR KAMU!” Dia menyabet makalah dari tangan saya lalu menyuruh saya duduk.
Hari-hari perkuliahan selanjutnya adalah hari penuh ketegangan dan saya berpikir apakah masih ada guna mengikuti perkuliahan ini, mengingat saya sudah ditandai sebagai mahasiswa yang bodoh dan kurang ajar. Namun putus asa dan tidak hadir lagi sudah pasti akan mendapat E dan tidak lulus lalu DO dari ITB, sementara kalau terus hadir dan mengikuti apa maunya dosen ini masih ada kemungkinan dapat D dan lulus. Hanya itu satu-satunya alasan saya mengikuti perkuliahan ini.
Tibalah kami pada tugas akhir perkuliahan, yaitu membuat presentasi apapun mengenai gelombang. Kelompok kami membahas mengenai Gelombang Alfvén, yaitu sejenis fenomena rambatan gelombang dalam plasma (Plasma adalah satu dari empat zat dasar. Tiga lainnya adalah zat padat, cair, dan gas. Plasma adalah gas yang hanya terdiri atas ion dan elektron. Contoh plasma adalah gas dalam lampu neon). Beberapa orang dalam kelompok kami, termasuk saya, mengikuti kuliah Astrofisika Plasma yang diadakan Jurusan Astronomi, jadi kami bisa membaca berbagai buku teks mengenai plasma dan berkonsultasi dengan dosen kuliah tersebut untuk menyiapkan presentasi ini.
Pada hari presentasi, teman saya yang maju presentasi dan dia menjelaskan apa itu Gelombang Alfvén dan menurunkan formulasi untuk memahami karakteristik gelombang ini. Di akhir presentasi ini, dosen Gelombang berkata bahwa topik yang dipresentasikan bukanlah topik gelombang. “Jangan tertipu walaupun ini dikatakan gelombang, lagipula tidak ada persamaan gelombang dalam presentasi kalian,” demikian katanya sambil nyengir penuh kemenangan. Presentasi kami dianggap OOT alias Jaka Sembung bawa golok. Hasilnya bisa ditebak, saat nilai akhir diumumkan, semua anggota kelompok saya mendapat nilai D, kecuali saya mendapat nilai E.
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengadukan persoalan ini kepada Ketua Jurusan Astronomi. Beliau membaca makalah kami lalu menyuruh kami meminta maaf kepada dosen Gelombang, mengaku salah, dan memohon diadakan ujian ulang. Kami menolak karena kami tidak merasa salah. Kami lalu mendatangi beberapa dosen di Jurusan Fisika dan menanyakan apakah Gelombang Alfvén termasuk ke dalam topik mengenai gelombang. Semua dosen yang kami tanyakan pendapatnya mendukung kami. Kami kembali mendatangi dosen Gelombang di ruangannya dan mengatakan bahwa kami tidak salah berdasarkan pendapat beberapa dosen, dan meminta agar beliau mengubah nilai kami. Dengan marah beliau menolak dan mengusir kami. Teman sekelompok saya kemudian mengirim surel kepada Rektor dan menjelaskan masalah yang kami hadapi, ia menyebut nama-nama dosen Fisika yang mendukung kami. Rektor meneruskan surel ini kepada Ketua Jurusan Fisika, meminta ada penyelesaian, surel ini lalu menyebar ke dosen-dosen dan jatuh ke tangan dosen Gelombang. Beliau kabarnya mendatangi dosen-dosen yang disebut dalam surel tersebut, membeberkan sudut pandang beliau, dan mereka kemudian menarik dukungan mereka pada kami. Seorang dosen yang semula mendukung kami terus terang berkata bahwa ia mendukung kami dalam semangat tapi meminta agar nama beliau jangan dibawa-bawa lagi. Belum pernah saya demikian sendiri dalam menghadapi masalah seperti ini, ketika mereka yang sesungguhnya punya kuasa untuk bersuara tidak bersuara karena takut.
Ketika pulang ke rumah orang tua, saya ceritakan permasalahan ini kepada orang tua saya. Bapak saya lalu menceritakan masalah ini kepada kawan lamanya yang seorang dosen Studi Asia Tenggara di suatu universitas di Australia. Ia lalu menceritakan pengalamannya digugat seorang mahasiswa dalam sebuah perkuliahan yang diampunya. Dalam kuliah ini beliau mengajarkan mengenai Pancasila dan menugaskan mahasiswanya untuk menulis makalah. Ada satu mahasiswa yang ia beri nilai rendah karena makalahnya praktis hanya mengutip buku Santiaji Pancasila dan tidak meninjau Pancasila secara kritis. Mahasiswa ini lalu menggugat keputusan dosen, dan fakultas lalu menggelar persidangan terbuka, dengan perwakilan dosen dan mahasiswa sebagai juri. Mahasiswa penggugat menjelaskan mengapa dia berhak mendapat nilai lebih tinggi dan dosen tergugat menjelaskan mengapa ia memberi penilaian seperti demikian. Pada akhirnya argumentasi dosen ini diterima. Intinya adalah, dalam universitas di Australia ini ada mekanisme di mana mahasiswa dapat menggugat dosennya secara terbuka.
Orang tua saya sadar betul bahwa masuk Jurusan Astronomi ITB dan menjadi astronom adalah impian saya sejak SMP. Setelah melalui berbagai hal mereka tak mau perjalanan saya selama ini berhenti dan pupus begitu saja hanya karena satu mata kuliah. Mereka tidak mau tinggal diam dan ingin membantu namun saya tidak mau mereka terlalu banyak terjun dalam masalah ini karena bagaimanapun saya adalah manusia dewasa yang harus bertanggungjawab dalam membereskan masalahnya sendiri. Atas saran kakak saya, mereka lalu menulis surat kepada Ketua Jurusan Astronomi, Ketua Jurusan Fisika, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), dan Rektor ITB, menjelaskan mengapa “semangat anak muda” seperti ini harus didukung dan memohon agar kami dibantu. Dekan lalu mengundang kami bertemu, dan menjelaskan bahwa beliau sudah mendatangi dosen Gelombang untuk menyelidiki duduk perkaranya, dan berpendapat bahwa materi kuliah yang diajarkan tidak ada masalah, dengan aturan yang jelas dan sistem penilaian yang adil. Kami membalas bahwa semua sistem itu dilempar keluar jendela setelah Ujian Tengah Semester dan selanjutnya adalah improvisasi dengan sistem yang tidak transparan (belum lagi hasil ujian yang tidak diumumkan). “Lalu apa yang kalian inginkan?” Tanya Dekan. Saya jelaskan bahwa saya menginginkan adanya sidang dan debat terbuka sebagaimana di Australia. Dekan berkata, hal itu tidak mungkin. Dekan tidak mau ada pertikaian antar dosen di fakultas ini. Kolegialitas antar dosen adalah hal penting yang harus beliau jaga. Saya tekankan bahwa ini bukan pertikaian namun suatu debat terbuka yang ilmiah yang rasional. Akhirnya Dekan meminta saya mengambil pendapat alternatif dan berdiskusi dengan seorang dosen Astronomi cukup senior yang sangat dekat dengan beliau dan sangat beliau percayai pendapatnya. Kami mendatangi dosen Astronomi senior ini dan terang-terangan beliau mengatakan bahwa kami keliru dan ini bukan topik gelombang. Apa argumentasinya saya sudah lupa. Saya kembali mendatangi dosen Astronomi senior ini secara di pribadi di ruang kantornya dan beliau kembali menjelaskan posisinya. Saya hilang harapan akan bisa terus berkuliah di Astronomi ITB dan mulai mempelajari langkah-langkah untuk pindah universitas.
Kakak saya pernah berkata bahwa dosen-dosen bergaul menggunakan teori bajak laut. Seorang bajak laut, walaupun kakinya buntung, matanya hilang satu, tangannya diganti kait, tidak akan ditinggal teman-temannya karena mereka hidup dan bertarung bersama-sama. Dosen tentunya akan cenderung lebih melindungi kepentingan kolega-koleganya daripada mahasiswa-mahasiswanya. Hal ini wajar-wajar saja karena mereka sudah menjadi kolega selama bertahun-tahun hingga berdekade-dekade, namun itu artinya kita tidak bisa berharap banyak bahwa mereka akan memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Tentunya kepentingan mahasiswa hanya bisa diperjuangkan oleh sesama mahasiswa dalam suatu serikat yang dapat bernegosiasi secara kolektif… Saya kembali mendatangi Dekan dan mengakui saya salah walaupun tak terlalu paham juga di mana salahnya. Dekan lalu berjanji akan membujuk Jurusan Fisika agar mengadakan Semester Pendek.

Pada akhirnya, atas bantuan Dekan, Jurusan Fisika menyelenggarakan beberapa kuliah dalam Semester Pendek. Awalnya, ketika saya mendaftar Gelombang, tertulis bahwa dosennya adalah dosen Gelombang yang berkonflik dengan saya. Walah ini mah sama aja bo’ong, pikir saya. Saya akan kembali tidak diluluskan. Saya dan beberapa teman lalu menemui Ketua Jurusan Fisika untuk meminta klarifikasi, dan beliau lalu mengoreksinya dengan menugaskan dosen lain. Sebagaimana sudah diceritakan, saya menjadi satu-satunya mahasiswa Gelombang dalam kuliah ini. Berdua kami membahas berbagai kasus dalam teori gelombang, dan pada saat ujian akhir saya memperolah nilai maksimal yang bisa diraih dalam Semester Pendek yaitu C. Akhirnya saya lulus sarjana muda dan sekitar satu setengah tahun kemudian saya lulus S1 dan menjadi Sarjana Astronomi.
Apa yang bisa disimpulkan dari kisah ini, terutama apabila menyambung kembali dengan diskusi mengenai ke(tidak)bebasan akademik di Indonesia? Benar apa yang dikatakan Herlambang bahwa Indonesia akan lebih kaya apabila semua kampus di Indonesia menerapkan sistem kebebasan akademik seperti di Australia (bukan di ITB hehehe). Kisah saya, walaupun detail-detailnya tidak akurat, secara prinsip benar menggambarkan suatu kondisi ketidakbebasan akademik, di mana seorang mahasiswa terpaksa harus menyetujui pandangan dosennya. Kami tidak bebas mengekspresikan penafsiran kami akan suatu fenomena alam (dalam hal ini fenomena perambatan gelombang dalam zat plasma) padahal banyak juga dosen yang setuju dengan pendapat kami. Para dosen sendiri pun tidak bebas dalam mengekspresikan pendapat mereka, karena khawatir akan mendapat pukulan balik dari kolega mereka yang dianggap lebih senior dari segi usia. Hal ini semakin menjadi masalah ketika dosen “senior” ini adalah tipe dosen yang tidak fleksibel dalam berpengetahuan dan terlalu dogmatis dalam penafsiran. Kebebasan akademik pun menjadi mandeg.
Ketidakbebasan akademik juga terlihat dalam cara memandang mahasiswa, yaitu bagaikan kendi kosong yang bisa kapanpun diisi air pengetahuan oleh dosen. Tidak ada penghormatan atas agensi dan otonomi seorang mahasiswa dalam menentukan apa yang ingin dipelajarinya. Mahasiswa lebih dipandang sebagai subjek ketimbang mitra dalam pendidikan. Tentunya pengalaman pendidikan kita akan lebih kaya apabila sebagai mahasiswa kita dapat berpartisipasi dalam menentukan bagaimana kita ingin dididik, dan menurut hemat saya ini hanya bisa dicapai apabila mahasiswa dapat mengorganisasikan diri mereka secara efektif dalam suatu serikat mahasiswa yang memperjuangkan kepentingan mereka sendiri.
Saya bukan sosok mahasiswa cemerlang yang menciptakan teori baru yang bertentangan dengan teori lama sebagaimana digambarkan dalam versi Herlambang. Saya bukan “pahlawan” dalam kisah ini tetapi apabila kita membutuhkan sosok pahlawan, saya pikir pahlawan dalam kisah ini pertama adalah kedua orang tua saya yang tidak rela mimpi-mimpi masa kecil saya putus di tengah jalan dan berusaha sekuat tenaga agar saya bisa terus mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. Terkadang kita tidak sadar akan mimpi-mimpi kita tersendiri, terkadang orang-orang terdekat kita bisa lebih sadar akan mimpi-mimpi tersebut daripada kita sendiri. Pahlawan kedua menurut saya adalah Dekan pada saat itu yaitu Ibu Cynthia Linaya Radiman. Tidak ada yang bisa meramalkan masa depan dan mengetahui akan jadi apa kita di masa depan, tapi dengan segala ketidakpastian itu Bu Cynthia percaya bahwa saya akan bisa terus maju dan bahwa pendidikan bagaimanapun adalah sebuah hak dasar manusia yang harus diperjuangkan siapapun.