Selama saya menempuh program doktoral di Belanda, saya sering bilang kalau saya sedang di kantor, harus ngantor, sebentar lagi gajian, dan ungkapan-ungkapan sebangsanya yang mengimplikasikan bahwa sedang bekerja sebagaimana layaknya pegawai kantoran. Atas pernyataan-pernyataan ini jawabannya seringkali, “Oooh kamu kerja sambilan?” Atau “Kok ngantor melulu kapan kuliahnya, katanya PhD?” Reaksi ini pada prinsipnya wajar-wajar saja karena mencerminkan pemahaman orang rata-rata bahwa seseorang menjalani program PhD sebagaimana orang menjalani program S1 atau S2: duduk manis mendengarkan kuliah, menulis thesis/disertasi, wisuda, dan lain-lain. Reaksi ini juga mencerminkan perbedaan pelaksanaan program doktoral di Belanda dibandingkan negara-negara lainnya.
Mungkin ada baiknya terlebih dahulu saya bercerita dulu mengenai aktivitas harian seorang kandidat doktor. Berhubung cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi dan juga saya baru setengah jalan menjalani program doktor, maka cerita ini jauh dari komprehensif.
Tugas utama seorang kandidat doktor adalah melakukan penelitian dalam rangka menjawab sebuah permasalahan. Permasalahan ini bisa muncul dari penasihat thesis si kandidat atau si kandidat sendiri yang memformulasikan permasalahannya. Sang kandidat, dibantu oleh seorang penasihat, bersama-sama menjawab permasalahan ini dengan pendekatan dan metodologi yang mereka sepakati dan dapat dipertanggungjawabkan. Ada berbagai macam pendekatan dan metodologi tergantung dari bidang ilmu yang membingkai permasalahan yang diajukan: studi kawasan, angket, survey literatur, simulasi komputer, eksperimen, statistik Bayesian, dan banyak hal lain. Setelah dirasa cukup sang kandidat lalu menuliskan hasil penelitiannya dalam wujud sebuah thesis atau disertasi yang berisi motivasi dan latar belakang mengenai penelitian ini, deskripsi mengenai metodologi dan pendekatan yang digunakannya beserta alasan-alasannya, serta penjelasan mengenai hal-hal yang bisa dipelajari dari hasil-hasil yang diperolehnya. Thesis ini kemudian akan dipertahankan di hadapan majelis penguji dan apabila lulus sang kandidat doktor berhak menyandang gelar doktor.
Pada prinsipnya program doktor di negara manapun bekerja kurang-lebih seperti deskripsi di atas, perbedaan mendasar pada umumnya ada pada pelaksanaan dan posisi seorang kandidat doktor dalam struktur institusi tempat dia bernaung.
Perbedaan utama saya pikir ada pada posisi. Di Belanda, seorang kandidat doktor adalah seorang pegawai universitas, dengan posisi sebagai peneliti junior. Dengan status pegawai ini, seorang kandidat doktor memperoleh gaji tetap selama durasi kontrak kerjanya (normalnya empat tahun), tunjangan kesehatan, tunjangan pensiun, dan juga membayar pajak. Saya juga diberikan ruang kantor (dibagi bersama kolega lain) dan meja kerja pribadi dan seperangkat komputer untuk bekerja. Pendek kata, saya ini memang seperti pegawai kantoran, walaupun di kontrak saya tertulis pasal-pasal mengenai jam kerja fleksibel dan saya tidak perlu hadir di kantor dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore.
Saya pikir ini sesuatu yang berbeda dengan negara-negara lain di mana kandidat doktor dianggap sebagai mahasiswa. Pendanaan untuk mahasiswa berbeda: seringkali mahasiswa memperoleh dana/beasiswa yang bisa jadi cukup atau bahkan berlebih tetapi bisa juga pas-pasan, memperoleh stipend dari membantu profesor mengajar, atau bahkan mungkin bekerja di restoran. Namun saya—karena berstatus pegawai—tidak berhak memperoleh tunjangan mahasiswa, antara lain kartu gratis naik kereta, harga khusus mahasiswa di museum, kartu angkutan umum, dan lain-lain. Di negara lain, kandidat doktor dianggap mahasiswa dan oleh karena itu berhak untuk mendapat berbagai tunjangan termasuk tunjangan perumahan. Di Belanda, kandidat doktor dianggap pekerja kantoran bergaji tetap dan oleh karena itu tidak mendapat tunjangan mahasiswa. Seorang kandidat doktor di Paris dapat menyewa sebuah studio berukuran 4 kali 5 seharga 150 euro sebulan berkat tunjangan mahasiswa, namun seorang kandidat doktor di Amsterdam harus membayar lima kali lipat untuk menyewa ruang yang sama.
Di negara-negara lain seorang kandidat doktor sering harus mengambil beberapa kuliah. Ini pada umumnya terjadi di Jerman, Inggris, atau di Amerika Serikat. Berapa jam mata kuliah yang harus diambil berbeda di tiap-tiap negara. Sejauh pengetahuan saya, di Amerika Serikat seorang kandidat doktor harus mengambil kuliah pada dua tahun pertama dan harus lulus ujian kualifikasi. Barulah sesudah itu ia bisa memikirkan topik thesis dan melakukan penelitian. Hal yang sama juga terjadi di Jerman, namun hanya satu tahun pertama. Di Belanda, kandidat doktor tidak perlu mengambil kuliah kecuali dia memang merasa perlu, pun juga halnya dengan di Perancis.
Walaupun kandidat doktor di Belanda berstatus pegawai (medewerker), namun dalam percakapan sehari-hari seseorang masih memanggil diri sendiri sebagai “mahasiswa PhD” atau “doktoraal student.” Nama resmi seorang mahasiswa PhD di Belanda adalah promovendus (bahasa latin yang artinya “dia yang akan dipromosikan”) atau jamaknya promovendi, sementara nama jabatan resmi dalam universitas tempat dia bekerja/meneliti adalah AIO atau assistent in opleiding. Seorang AIO memegang kontrak untuk meneliti selama empat tahun, namun umumnya kontrak ini diteken dua kali: Kontrak untuk satu tahun pertama dan kemudian diperpanjang untuk tiga tahun berikutnya. Apabila thesis doktor yang ditulis masih belum selesai setelah tahun keempat, maka kemungkinan untuk tahun kelima tergantung pada profesor yang menjadi promotor. Kandidat doktor yang belum selesai juga setelah tahun kelima tidak memperoleh pendanaan lagi dan bekerja dengan gratis. Ini terjadi pada teman saya yang kini sudah memasuki tahun ketujuh. Untungnya thesisnya sudah tinggal diserahkan dan dia sudah memperoleh pekerjaan baru sebagai peneliti pascadoktor (post-doc).
Meskipun status berbeda, saya merasa bahwa pengalaman seorang kandidat doktor kurang-lebih sama di mana-mana: Kebingungan pada tahun-tahun pertama, kemandirian bekerja, jam kerja yang fleksibel namun seringkali di luar kewajaran, procrastination, dan perasaan bodoh dan bingung yang sering menggelayut.
Kira-kira empat tahun lalu, beberapa hari sebelum saya berangkat ke luar negeri, saya mengunjungi rumah teman saya. Bapaknya teman saya, seorang dosen teologi, lalu datang dan mengajak saya ngobrol, lalu bertanya, “Setelah lulus program master apakah kamu mau ambil PhD?” Saya jawab bahwa saya memang berminat melanjutkan pendidikan dengan mengambil PhD. Bapaknya teman lalu berkata bahwa program PhD itu seperti berjalan sendirian di lorong yang gelap tanpa cahaya: Tidak tahu mau pergi ke mana dan tidak ada yang bisa membantu. Persoalan-persoalan dalam penelitian seringkali sangat spesifik dan permasalahan yang dihadapi seringkali pula hanya diketahui oleh si peneliti, dalam hal ini kita sendiri. Orang lain seringkali hanya bisa memberikan saran namun mereka juga punya masalahnya sendiri-sendiri dan tentunya hanya kita sendiri yang bisa menyelesaikan. Saya selalu ingat pendapat ini dan setelah dua tahun lebih mengerjakan penelitian, pendapat bapaknya teman saya ini sebagian besar memang benar.
Setuju, Pak Don.
Saya kandidat doktor juga, baru akan mulai penelitian. Rasanya gelap gulita, berjalan sendirian. Berpikir dalaaaamm, tapi kagak nemu yang dicari hehe.. Pembimbing ada, tapi ya itu, nasehat saja. Yang tahu persis penelitian, ya kita sendiri.
Tapi mungkin konsep doktoral di Indonesia beda dengan di Belanda. Di sini, kandidat dihitung sebagai mahasiswa. kebetulan karena saya profesional yang kerja di luar bidang akademis, saya tidak mudah dapat beasiswa.
Pengalaman anda paling tidak melegakan saya, karena banyak teman senasib di luar sana 🙂