Tanggal 27 Agustus selalu menjadi tanggal penting bagi saya karena pada tanggal itu, tahun 2006, dalam usia seperempat abad, saya tiba di Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan astronomi saya.

Pada bulan Februari 2006, saya telah mempertahankan skripsi saya dan berhak menyandang gelar Sarjana Sains (S.Si). Satu bulan berikutnya saya diwisuda bersama ratusan (ribuan?) mahasiswa ITB lainnya. Saya sebenarnya enggan mengikuti upacara wisuda yang sifatnya hanya ritual formalitas, lagipula tantangan sebenarnya telah saya lalui yaitu melakukan penelitian kecil-kecilan, menulis laporannya dalam bentuk rapi dan terstruktur, lalu mempertahankannya dalam sidang skripsi. Namun saya teringat bahwa kedua kakak saya juga berpikiran yang sama dan mereka pun tidak mengikuti upacara wisuda, dan hingga saat itu orang tua saya tidak pernah menyaksikan anak-anaknya diwisuda.

Mengingat saya adalah anak terakhir, saya lalu bertanya kepada mereka apakah mereka mau menghadiri acara wisuda yang membosankan ini. Mereka bilang mereka mau, jadilah saya kali ini (demi orang tua) mengorbankan prinsip saya dan lalu mendaftar ikut wisuda. Pada proses pendaftaran wisuda ini saya terheran-heran kenapa saya harus membeli, bukan menyewa, toga yang hanya akan saya pakai satu kali seumur hidup. Harganya pun bukan main mahalnya. Saya kurang tahu berapa persen penghasilan dari menjual toga ini berkontribusi pada penghasilan ITB.

Selesai sidang dan wisuda ini saya lalu berpikir mengenai langkah selanjutnya. Saya ingin melanjutkan mengambil S2, kalau bisa di luar negeri. Saya mulai mencari-cari sekolah yang proses pendaftarannya masih buka. Kalau saya menunggu hingga tahun berikutnya, 2007, bisa pudar keinginan saya melanjutkan sekolah.

Dari segi pembiayaan dan prospek untuk bisa diterima, pada waktu itu saya mulai melirik ke Negeri Belanda. Di Belanda ada Observatorium Leiden yang sudah sangat sering bekerja sama dengan Observatorium Bosscha di Lembang, mereka juga yang berpartisipasi dalam sebagian pembiayaan operasional Observatorium Bosscha melalui skema dana LKBF. Saya menghubungi bagian penerimaan di Leiden dan saya disambut hangat oleh Rudolf Le Poole yang lalu mengundang saya untuk mengirimkan berkas-bekas pendaftaran. Jawaban Rudolf yang sangat antusias mendorong semangat saya untuk mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan dan mencari pendanaan untuk sekolah saya. Di kemudian hari saya mengetahui bahwa Rudolf sudah beberapa kali datang ke Lembang untuk memberi kuliah dan kenal dengan banyak astronom Indonesia.

Pencarian beasiswa saya mulai dengan mengirim berkas-berkas saya ke program StuNed. Saya lolos hingga tahap wawancara namun kemudian ternyata saya ditolak karena alasan yang sederhana: Saya adalah fresh graduate sementara StuNed diperuntukkan untuk profesional yang sudah bekerja paling tidak dua tahun. Mereka tidak menerima fakta bahwa saya bekerja sambilan paling tidak selama tiga tahun sebagai asisten dosen, penceramah di Observatorium Bosscha, guru materi pengayaan fisika di SMU, dan lain-lain yang saya tulis di CV yang saya lampirkan bersama-sama berkas pendaftaran. Bukan saya yang mereka cari.

Situasi ini mengkhawatirkan karena di saat yang sama saya sudah diterima di Observatorium Leiden. Mereka memberikan perkiraan biaya yang harus saya keluarkan: Uang sekolah satu tahun sebesar kira-kira 11 ribu Euro (pada waktu itu kira-kira seratus lima puluh juta Rupiah. Ini adalah uang sekolah untuk mahasiswa internasional. Mahasiswa Belanda dan Uni Eropa hanya membayar 1500 Euro) dan biaya hidup selama setahun kira-kira seratus juta rupiah. Program S2 ini berlangsung dua tahun jadi saya harus mengeluarkan biaya hampir setengah milyar rupiah. Tidak mungkin saya ataupun orang tua saya mampu membiayai pendidikan semahal itu.

Selama satu minggu saya tidak menjawab tawaran dari Kantor Internasional Universitas Leiden. Mereka lalu mengirim e-mail menanyakan keputusan saya. Saya lalu menjawab bahwa saya tidak punya biaya untuk membiayai pendidikan saya selama dua tahun, seraya menanyakan apakah mereka mengetahui skema beasiswa yang masih bisa saya daftar. Jawaban mereka sangat singkat namun bermakna: “Masih ada skema Leids Universiteits Fonds (LUF). Berkas Anda telah saya teruskan kepada mereka.” Dua minggu kemudian saya bertanya kembali bagaimana hasilnya dan mereka menjawab, “Kabar baik! Anda memperoleh pengurangan uang sekolah menjadi 1500 Euro dan LUF bersedia membayar Anda uang beasiswa.” Di kemudian hari barulah saya mengetahui bahwa Observatorium Leiden memiliki kebijakan khusus: Untuk dua tahun pertama, mahasiswa internasional membayar uang sekolah hanya sejumlah yang sama dengan uang sekolah yang dibayar mahasiswa Belanda dan Uni Eropa (Bila dalam dua tahun saya belum lulus juga maka pada tahun ketiga saya harus membayar uang sekolah sejumlah yang dibebankan mahasiswa internasional. Untungnya saya lulus tepat waktu).

Saya gembira sekali mendengar berita ini. Persoalan saya tinggal mencari uang untuk berangkat ke sana. Saya teruskan berita ini kepada orang tua saya dan mereka sepertinya memahami keinginan saya untuk melanjutkan sekolah. Mereka bersedia untuk membayari tiket perjalanan dengan pesawat, asuransi, biaya permohonan ijin tinggal, dan juga uang saku untuk beberapa minggu pertama.

Beberapa minggu kemudian saya memperoleh detail mengenai uang yang akan saya peroleh dari LUF: Selama satu tahun saya akan memperoleh uang sejumlah total 9000 Euro, diberikan setiap bulan. Uang ini lalu saya manfaatkan untuk membayar cicilan uang sekolah yang sejumlah 1500 Euro (ternyata ada pilihan untuk mencicil uang sekolah setiap bulan) dan untuk biaya hidup.

Pada tanggal 26 Agustus, saya berangkat ke Negeri Belanda dan di Bandar Udara Schiphol pada tanggal 27 Agustus. Saya dijemput oleh Muhammad Iqbal, teman SMA kakak saya. Saya juga sudah kenal Iqbal semenjak saya masih di SD. Mulailah saya menjalani kehidupan sebagai pendatang di negeri orang.

Saya berhutang kepada banyak sekali orang, terutama sekali kepada Pak Bambang Hidayat yang telah menuliskan saya surat rekomendasi untuk pendaftaran saya. Pak Bambang juga tak segan-segan menelepon ke kantor StuNed untuk berbicara dengan Ibu Monique, salah satu koordinator StuNed, untuk menyampaikan keinginan saya untuk bersekolah. Saya menduga surat rekomendasi yang ditulis Pak Bambang adalah faktor penting saya dapat diterima di Observatorium Leiden, karena dewan penerimaan diisi orang-orang yang mengenal Pak Bambang secara pribadi.

Selain kepada Pak Bambang, saya juga memintakan rekomendasi dari Pak Moedji Raharto dan Pak Hakim L. Malasan. Pak Moedji adalah dosen pembimbing skripsi saya dan Pak Hakim adalah dosen yang cukup akrab dengan saya. Pak Moedji pernah bekerja selama beberapa bulan di Observatorium Leiden untuk mengerjakan data dari satelit infra merah IRAS. Pak Hakim, di lain sisi, mengambil PhD-nya di Jepang dan tidak kenal dengan astronom-astronom Belanda, dan oleh karena itu bertanya kepada saya, “kok minta rekomendasi ke saya?” Saya waktu itu bilang, “Saya sudah minta rekomendasi dari Pak Bambang dan Pak Moedji yang kenal dengan astronom-astronom Belanda, tapi saya pikir kalau Bapak juga bisa menuliskan rekomendasi akan baik juga karena Bapak kenal baik dengan saya. Lagipula kita pernah menulis makalah bersama-sama untuk seminar MIPA.” Pak Hakim lalu bersedia menuliskan rekomendasi untuk saya, tidak pernah saya baca karena diserahkan dalam amplop tertutup.

Tahun 2006 memang tahun besar untuk saya. Berkat dukungan banyak orang saya memperoleh kesempatan untuk hidup dan bersekolah di negeri orang, sebuah kesempatan yang mudah-mudahan telah saya manfaatkan sebaik-baiknya selama empat tahun terakhir ini.

1 comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: