Mumpung masih di Perancis saya akan melanjutkan soal stereotipe orang Perancis. Saya selalu berhati-hati pada stereotipe karena ini adalah penggambaran suatu grup yang terdiri atas individu-individu yang punya watak berbeda. Tidak ada dua orang yang sama persis bahkan saudara kembar sekalipun, oleh karena itu penggambaran terhadap sekelompok orang (dalam hal ini misalnya orang Perancis) yang jumlahnya bisa mencapai ratusan atau bahkan jutaan harus disikapi dengan skeptis.
Salah satu pendekatan dalam menjelaskan adanya fenomena pen-stereotipe-an adalah karena adanya kebutuhan untuk mengidentifikasi kelompok sendiri dengan kelompok luar. Kelompok sendiri adalah kelompok di mana sang individu mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut, sementara kelompok luar adalah kelompok-kelompok lain di luar kelompoknya. Yang dimaksud kelompok bisa macam-macam di sini: Perancis, Indonesia, Jawa, Islam, Katolik, penggemar Twilight, alay, hipster, dan lain-lain. Saya akan mengesampingkan diskusi soal dinamika kelompok, misalnya tentang bagaimana orang dapat mengidentifikasi sebagai bagian dari lebih dari satu kelompok dan perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lain. Perlulah saya singgung bahwa pen-stereotipe-an adalah sebuah fenomena yang saya pikir timbul dari naluri dasar manusia untuk bertahan hidup dan oleh karena itu perlulah melakukan identifikasi-cepat tentang siapa kawan dan siapa lawan. Masalahnya hasil identifikasi-cepat yang kemudian menjadi prasangka (prejudice) ini tidaklah selalu benar dan menjebak kita terus-menerus dalam lingkaran kecurigaan dan xenophobia.
Nah kembali ke soal pen-stereotipe-an orang Perancis. Saya sering mendengar dari pembicaraan teman-teman yang bukan Perancis maupun yang Perancis. Dari percakapan ini muncullah persepsi masing-masing mengenai Perancis dan macam-macam saja yang timbul, antara lain Orang Perancis itu kasar (rude), sombong, bau dan jarang mandi, seksis, feodal, dan tidak mau berbicara Bahasa Inggris. Stereotipe orang Perancis yang kasar sudah sangat terkenal dalam karya sastra maupun film. Gabriel García Márquez pernah membuat karakternya dalam Strange Pilgrims (saya lupa di cerita pendek yang mana di buku ini, tapi tidak terlalu sulit menemukannya karena setiap cerita pendek terjadi di kota yang berbeda-beda di dunia) berkata, “Orang Perancis adalah bangsa paling kasar sedunia.” Stereotipe orang Perancis jarang mandi bahkan dialami sendiri oleh teman saya asal Perancis yang kini bermukim di Belanda:
orang (A): “Kamu dari Perancis, pasti kamu gak pernah mandi ya?”
Teman saya (B): “Aaah enggak itu kan hanya mitos saja. Saya mandi rutin kok minimal sekali sehari.”
A: “Aaah gak mungkin! Kamu kan orang Perancis, kamu mesti gak pernah mandi!”
B: “Kamu salah paham mengenai orang Perancis, kami mandi rutin kok sebagaimana bangsa-bangsa lain.”
A: “Ya okelah kamu rajin mandi deh, lagian barangkali itu juga pasti gara-gara kamu di Belanda. Perancis-perancis yang lain pasti gak pernah mandi, hehehehe…”
Begitulah stereotipe Orang Perancis yang bau dan jarang mandi, biasanya ini akan ditambahi bumbu lelucon bahwa itulah mengapa parfum Perancis berkualitas baik karena dipakai untuk menutupi bau jarang mandi.
Mengenai orang Perancis yang kasar ini saya memang sering mengalami sendiri berhubung saya sering ke Perancis untuk urusan pekerjaan, liburan, atau sekadar temu kangen dengan teman-teman di sana. Beberapa hal yang pernah saya alami sendiri antara lain:
- Saya di Stasiun Kereta Api Gare du Nord (Stasiun Utara) Paris dan saya mengajak bicara seorang pegawai stasiun untuk bertanya mengenai jadwal kereta. Tanpa berhenti atau melihat ke arah saya dia hanya bilang, “Sana lihat sendiri layar jadwal!”
- Suatu hari saya nebeng mobil dari Belanda ke Paris dan diturunkan di pinggir kota. Saya bertanya pada polisi yang kebetulan lewat untuk menanyakan perihal angkutan dan jawabnya, “Mana saya tahu, saya ini polisi [seraya menunjuk tulisan bordir “Polisi” di dadanya] bukan pemandu wisata. Sana tanya sama resepsionis hotel!” Kebetulan saya memang ada di daerah sekumpulan hotel.
- Beberapa kali saya memotret di jalanan dan orang bertanya saya siapa, dari mana, dan memotret untuk apa. Orang yang bertanya ini hampir pasti adalah orang ge-er yang merasa terpotret. Ada yang minta supaya fotonya dihapus (Saya bilang tidak bisa karena ini foto analog bukan foto digital dan saya tidak mau kehilangan satu roll film berisi pekerjaan seharian penuh). Bahkan pernah ada yang berteriak-teriak, marah-marah, dan mengancam untuk melaporkan saya ke polisi.
Perlu saya katakan bahwa semua percakapan di atas terjadi dalam Bahasa Perancis, jadi hampir pasti orang-orang ini memang warga lokal. Teman saya juga punya impresi yang buruk mengenai Orang Perancis bahkan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sakit secara psikologis.
Semua kejadian di atas terjadi di Paris, ibukota Perancis di mana 20% orang Perancis tinggal. Saya punya banyak teman di Paris, baik orang Indonesia maupun Perancis, dan mereka semua adalah orang-orang baik (kayaknya ini gak penting ya karena kalau gak baik bukan teman namanya tapi musuh, hehehehe…), jadi pengalaman di atas terjadi pada orang yang saya tidak kenal pribadi.
Namun ketika saya pergi ke provinces (dalam bahasa Perancis, province adalah daerah administratif subnegara seperti di Indonesia, namun bagi orang Paris, istilah province adalah daerah manapun di Perancis yang di luar Paris), interaksi saya dengan orang asing (orang yang tidak saya kenal pribadi) berlangsung baik. Suatu hari saya bersepeda selama tiga hari sepanjang Sungai Loire dan orang-orang yang saya temui lebih ramah dan (gasp!) lebih siap berbahasa Inggris apabila saya terlihat kebingungan dengan apa yang baru saja mereka ucapkan. Rata-rata mereka yang berbahasa Inggris ini adalah orang-orang yang biasa berhadapan dengan wisatawan, misalnya resepsionis losmen atau pegawai kantor layanan wisatawan, namun di Lyon saya menjumpai bapak-bapak tua yang menunjukkan jalan dalam Bahasa Inggris. Bahkan di Tours, ketika sepeda saya dicuri dan saya pergi ke kantor polisi untuk melapor (saya butuh laporan untuk mengurus asuransi), polisi setempat mewawancara saya dalam Bahasa Inggris. Saya kaget juga karena di dalam kepala saya sudah mempersiapkan jawaban-jawaban dalam Bahasa Perancis. Ketika saya menceritakan ini semua kepada teman saya di atas yang membenci Orang Perancis, dia berkata “Kok tidak terdengar seperti Orang Perancis ya?” Apalagi ketika saya mengalami hal yang juga mengagetkan di Toulon di mana orang satu kampung membantu saya mencarikan alamat. Biasanya yang saya alami adalah, kalau orang tidak tahu mereka akan bilang “tidak tahu” lalu pergi.
Saya menyadari bahwa pengalaman-pengalaman di atas termasuk anectodal evidence, jadi janganlah dianggap sebagai bukti yang kukuh. Bisa jadi saya memang mendekati seseorang pada waktu yang salah dan itulah sebabnya dia tidak mau membantu. Pada umumnya bila ada orang yang galak saya selalu berprasangka baik ini orang dasarnya baik tetapi sedang mengalami hari atau periode buruk. Saya biasanya berpikir, “waduh mungkin dia jutek karena habis diputusin pacarnya atau sedang mengalami proses perceraian yang pahit,” atau semacam itu. Bisa jadi juga dia belum makan dan kalau saya datangi setelah jam makan siang dia akan cerah ceria. Yang sebaliknya juga bisa terjadi, seseorang pada prinsipnya cuekan dan galak tapi kebetulan dia baru saja dibantu orang sehingga terinspirasi untuk berbuat baik pada saat itu. Bila saya mau memiliki bukti yang lebih kukuh saya harus mendatangi lebih banyak orang sehingga saya memiliki data yang memuaskan secara statistik.
Kalaupun ada yang bisa disimpulkan dari pengalaman-pengalaman ini (namun jangan pula terlalu mempercayai kesimpulan yang didasarkan pada anecdotal evidences), adalah bahwa stereotipe orang Perancis kebanyakan tidak betul, dan stereotipe orang Perancis yang kasar dan sombong boleh jadi hanya benar kalau kita ke Paris. Dari pengalaman saya orang kampung tidak seperti itu, dan teman saya pembenci orang Perancis kini agak sedikit lunak sikapnya mengenai Orang Perancis.
Ternyata saya juga tidak sendiri dalam penilaian saya mengenai orang Paris yang lebih arogan daripada orang daerah, karena ternyata di Perancis ada istilah yang namanya parisianisme: sebuah sikap yang menginginkan segalanya terpusat di Paris. Jadi ternyata ini sebuah fenomena sosial dan saya jadi tertarik mempelajari kenapa ada hal seperti ini. Dalam post sebelumnya saya telah singgung bahwa boleh jadi ini adalah karena proses urbanisasi, ini boleh jadi betul dan dalam kasus Perancis saya pikir ini lebih spesifik lagi yaitu karena proses urbanisasi kota Paris itu sendiri dan posisi Paris sebagai pusat segalanya di Perancis.
Ada sekitar 12 juta orang tinggal di daerah metropolitan Paris (disebut Île-de-France), ini sekitar 20% dari total penduduk Perancis. Melihat ini dan juga posisi Paris sebagai ibu kota negara dan juga kota yang paling sering dikunjungi di dunia, tentu wajarlah apabila orang Paris merasa dirinya sebagai pusat dunia dan memandang lebih rendah rekan-rekan sebangsanya di daerah-daerah.
Sifat Perancis yang Paris-sentris ini semakin kentara apabila kita melihat peta jalur kereta cepat (TGV, Train à Grande Vitesse atau Kereta Kecepatan Tinggi) Perancis. Jalur utama TGV menyerupai jeruji-jeruji sepeda yang menjurus radial dari poros sepeda tersebut, yaitu Paris. Perjalanan dari Paris menuju kota manapun yang dilalui TGV dapat dicapai maksimal 4 jam (Paris ke Marseille saya tempuh selama 3.5 jam naik TGV, sementara Paris ke Tours kira-kira 1 jam), namun perjalanan dari satu jeruji ke jeruji lainnya (misalnya dari Bordeaux ke Lyon) bisa makan banyak waktu lama karena harus ditempuh dengan kereta lokal yang lamanya bukan main. Terkadang supaya lebih cepat bahkan kita harus pergi ke Paris dulu lalu pindah kereta di situ.
![]() Raja Perancis, Louis XIV, memerintah Perancis dengan kekuasaan absolut selama 72 tahun. |
Inilah konsekuensi dari cara pandang sebuah Negara Kesatuan Republik Perancis, di mana kekuasaan berpusat pada ibukota. Struktur ini sudah diberlakukan semenjak abad ke 13, di masa ketika Perancis masih berupa kerajaan. Kekuasaan Raja Perancis yang memerintah dari Paris semakin meningkat pada 70an tahun masa pemerintahan Raja Louis XIV di abad ke-17, di Perancis diperintah dengan sistem monarki absolut dan kekuasaan raja-raja Perancis dilegitimasi oleh doktrin “hak surgawi” (Divine right). Setelah masa revolusi, Perancis mulai bertransformasi sebagai sebuah Republik. Dalam sistem demokrasi parlementer Perancis, kekuasaan tetap berpusat di Paris.
Dengan sistem seperti ini maka wajarlah apabila orang-orang Paris merasa dirinya menjadi pusat dunia dan timbul perasaan cemburu antara daerah-daerah dengan Paris. Sebagai pusat dunia maka semua orang harus berbahasa Perancis, karena Bahasa Perancis adalah identitas nasional yang mendefinisikan Perancis sebagai sebuah bangsa. Paris adalah pusat dunia oleh karena itu kamu harus bisa berbahasa setempat karena kami tidak mau terlihat bodoh karena berbahasa Inggris (yang juga adalah musuh kami selama hampir satu milenium).
Kesadaran akan adanya posisi penting inilah yang menimpulkan kesan arogan dari warga Paris. Ketengan antara daerah-daerah dengan Paris juga terasa ketika teman saya asal Marseille (kota berpenduduk terbesar kedua di Perancis, terletak di Perancis Selatan) merasa perlu untuk menekankan, “Institut kami juga tidak kalah bagusnya dengan institut-institut di Perancis.” Boleh jadi pula ketegangan ini diekspresikan oleh daerah-daerah dengan menunjukkan watak “keramahan ala pedesaan,” entah disadari atau tidak.
Untunglah friksi-friksi ini tidak menjalar ke mana-mana dan dua puluh tahun lalu, pada tahun 1982, parlemen Perancis mensahkan undang-undang desentralisasi administrasi dan fiskal. Apabila sebelumnya kepala pemerintahan lokal ditunjuk oleh pemerintah pusat, kini ada sudah ada pilkada untuk memilih anggota-anggota pemerintahan. Proses ini berjalan lambat dan masih berlangsung hingga kini dan kekuasaan politik daerah-daerah perlahan teapi pasti semakin menguat. Transisi ini meskipun perlahan menunjukkan bahwa bahkan negara pun bisa berubah bentuk untuk menjalankan mandat yang mewakili kepentingan rakyatnya.
Bonjour,
Halo salam kenal
Nama saya Jessica K, Indonesia.
Pertama2 sy ingin mengucapkan terimakasih atas post blog diatas yang sangat membantu dalam pencarian ttg info studi di Prancis
Ada beberapa hal yang ingin ditanyakan,
1. Apakah sterotipe orang Prancis itu ‘sombong’ dengan mahasiswa/i dr Asia terutama Indonesia benar?
(Krn menurut post-blog diatas, tdk terlalu dijelaskan ttg sikap dan perilaku orang Prancis dalam hal studi.)
2. Banyak pernyataan bahwa org Perancis itu kaku dan cenderung tdk mau berkomunikasi dengan pelajar yg berasal dari luar Prancis yang kemampuan bahasanya kurang baik. Apa itu benar (esp. para pelajar2 di college & universitas) ?
Sekian, dan sekiranya bisa dibantu melalui pengalaman2 yang sudah anda tempuh sebelumnya.
p.s: th depan saya berencana meneruskan studi s1 eropa. antara prancis/jerman, namun pilihan condong ke prancis.
Thanks in advance. 🙂
Have a nice day!
Halo, saya tidak pernah belajar di Perancis jadi saya tak bisa bantu kamu dalam hal yang spesifik ini. Pengalaman saya sebagai orang Asia (dan yang saya dengar dari orang manapun), asal bisa Bahasa Perancis semua beres.
Mengenai kemampuan bahasa Inggris (atau bahasa-bahasa lain) orang Perancis, saya sudah menulis blog-post tentang itu. Kalau orang Perancis tidak mau bantu kamu karena persoalan Bahasa, tant pis, kamu cari mahasiswa internasional. Tapi keberadaan mahasiswa internasional jangan dijadikan alasan untuk tidak mau belajar bahasa Perancis, karena sebagai pendatang (sementara) kita tetap harus mempelajari bahasa lokal.
Kamu jangan terlalu percaya dengan stereotipe karena sering tidak benar. Saya sudah peringatkan di atas bahwa stereotipe terlalu sering tidak benar.
jadi bertanya-tanya, orang jakarta akan jadi seperti orang paris juga ga ya . . .
Lah bukannya sudah terjadi ya? Bukankah sentralisasi yang terjadi semenjak 1945, dan semakin terpusatnya kekuasaan di Jakarta pada jaman Soeharto, membuat orang Jakarta sedikit banyak bermental seperti Orang Paris? Bukankah dulu Gubernur setiap provinsi tidak dipilih langsung seperti sekarang tetapi ditunjuk langsung oleh Soeharto?
Wajarlah bila ketimpangan yang nyata antara Jakarta dan les provinces kemudian menghasilkan kecemburuan, dan ketidakadilan yang terus-menerus terjadi kemudian menghasilkan gerakan separatis. Bila ada daerah yang kaya bahan mentah (e.g. gas alam), tapi yang dapat uangnya hanya segelintir orang di Jakarta, wajarlah apabila orang bertanya-bertanya, “Persatuan Indonesia untuk apa?” Jaman Soeharto dulu yang bertanya seperti ini langsung dikirimi ABRI untuk “diamankan,” atas nama “persatuan dan kesatuan.” Karena “persatuan dan kesatuan” yang dipaksakan oleh bedil dan bayonet, akhirnya persatuan dan kesatuan hanya tinggal slogan semu saja. Tentu saja jaman sekarang metode ini harus diubah, harus ada dialog antara Jakarta dan daerah-daerah supaya tumbuh saling pengertian, bisa duduk sama tinggi berdiri sama rendah bicara soal pembagian kekuasaan dan makna persatuan.
Itu soal politik. Nah kalau soal keramahan orang Jakarta, coba saja berkendara di jalan raya jam lima sore, lihat betapa “ramah”nya orang Jakarta saling menyapa kendaraan dengan klakson, kalau perlu kepalanya dikeluarkan lalu keluar deh ucapan-ucapan ramah nian dalam wujud nama-nama hewan piaraan :p (Tapi referensi gw soal Jakarta masih berdasarkan Benny & Mice ni hehehehe)
Agak-agak mirip ya Negara Kesatuan Republik Perancis dengan Indonesia? Hehehehe… :p