Scott Tremaine is sitting in the next roomRuang kantor gue, Gedung Oort No. 558, adalah tempat yang cukup strategis. Persis di seberang adalah Kaiser Lounge alias common room tempat orang rileks dan ngopi. Kejadian-kejadian penting di Observatorium diumumkan di sini, dan kalau ada kumpul-kumpul akan langsung ketahuan karena dari meja gue akan terlihat kumpulan orang di situ. Ruang 558 juga dekat dengan printer jadi kalau mau ambil hasil cetakan juga gampang.

Persis di sebelah Ruang 558 adalah ruang 556 yaitu ruang khusus untuk ilmuwan tamu, alias Oort Guest Room. Selebriti astronomi (atau yang kurang selebriti) biasanya ditempatkan di situ, dan kali ini…Scott Tremaine ada di situ!

Scott orang Kanada, dan merupakan salah satu pakar terkemuka dalam bidang dinamika benda-benda langit. Mulai dari benda-benda kecil dalam tata surya (komet dan asteroid termasuk), planet, hingga galaksi, semua sudah pernah dikerjakan doski. Keberadaan satelit-satelit penggembala di sekitar cincin Saturnus yang kemudian menghasilkan divisi Encke itu pertama kali diusulkan salah satunya oleh Scott pada tahun 1979, sebelum akhirnya dikonfirmasi dua tahun kemudian oleh observasi Prometheus dan Pandora, dua satelit penggembala yang “membersihkan” debu di jalur orbit mereka, sehingga menghasilkan divisi Encke. Scott juga mengeluarkan hipotesis bahwa nukleus ganda pada Galaksi Andromeda sebenarnya adalah cincin yang berisi bintang-bintang tua berwarna merah.

Galactic DynamicsBersama James Binney, seorang pakar struktur galaksi, Scott menulis buku Galactic Dynamics yang menjabarkan teori-teori dinamika yang dapat diaplikasikan untuk galaksi, terutama dinamika N-benda. Buku ini adalah buku teks standar dalam penelitian dinamika Galaksi. Gue punya satu kopi bukunya dan sekarang nangkring di atas kompie gue. Oh ya, doski juga menjadi direktur pertama CITA (Canadian Institute for Theoretical Astrophysics).

Scott ada di sini karena besok, hari Rabu, akan ada Oortlezing (Oort Lecture), sebuah kuliah umum tahunan yang diselenggarakan oleh Observatorium Leiden, dan pembicaranya adalah astronom terkenal yang selama satu tahun berikutnya akan menjadi Oort Professor. Akhir bulan Mei nanti juga Scott akan mengorganisasikan workshop tentang dinamika N-benda. Nah, beberapa kali gue liat tu orang mondar-mandir keluar buat ngambil print2-an dan kadang-kadang ke Kaiser Lounge untuk ngopi. Asik gak ya kalau gw hampiri dia dan bilang, “Err…Scott, boleh minta tandatangannya gak?” sambil nyodorin Galactic Dynamics gue? Hmmm…kayaknya rada-rada katro deh, hehehehe…

12 comments

  1. 100% setuju dengan Friso. Di school saya pun sering terlihat staff postdoc yang kerja seolah nggak punya keluarga, datang jam 8 pagi pulang jam 11 malam, weekend tetap di lab. Seolah berpegang pada prinsip “there is no life than publication”. Pun dari buku yang saya baca: The Stars Are Not Enough karya sosiolog Hermanowicz, yang meneliti kehidupan para physicist di univ. ternama di U.S. dan menemukan hampir mayoritas kehidupan rumah tangganya berantakan dan berujung perceraian. Tentu pengorbanan mereka ini bisa kita lihat dari majunya riset fisika di Amerika.
    bagaimana di Indonesia? tentu orang Indonesia lebih memilih keluarga (kayaknya lho…) jadi nggak heran kalau research progress di Indonesia nggak maju2, CMIIW…
    eh, salam kenal… 🙂

  2. Hei, menarik sekali! Gue rasa ini memang terkait dengan etos kerja di negara maju ya begitu. Industrialisasi dan globalisasi membuat tenaga kerja jadi lebih mudah berpindah-pindah. Bagi orang muda mungkin ini enak karena bisa pindah-pindah tapi bagi yang menginginkan stabilitas, hidup jadi sulit.

    Dalam karier sains, orang jadi cenderung bekerja seperti mesin dan hanya mengejar publikasi. Padahal jumlah publikasi sains dan indeks sitasi tidak bisa berkata apa-apa tentang karier ilmiah seseorang. Banyak ilmuwan-ilmuwan ternama seperti Richard Feynman atau Jeffrey Goldstone yang jumlah publikasinya sedikit, namun semua orang mendengarkan kalau mereka ngomong. Gauss dulu punya moto, pauca sed matura (sedikit tapi matang).

    Mungkin kita bukan jenius, makanya harus banyak ngomong supaya didengarkan, hehehehe…

  3. Aha, yep.. yep.. I’m totally agree with you. Sayangnya di layanan database ilmiah macam Web of Science milik Thomson Corp, sitasi ini yang jadi indikator, seolah menunjukkan tingkat popularitas seorang saintis (mirip pagerank-nya google atawa blog-rank-nya technorati).

    yang lebih parah lagi, demi mengejar kuantitas, mereka mulai meninggalkan kualitas. Lecturer saya cerita, bahkan untuk jurnal sekelas Physical Revew atau Nature, paper-paper dengan kualitas buruk mulai menjamur 😦

  4. Dawkins selebritinya jelas, sebagai PR biologi dan Rotweillernya Darwin memang legendaris. Tapi sebagai ilmuwan, sebetulnya penelitiannya dan karya ilmiahnya nggak menonjol. Makanya dia sih lebih cocok jadi humas sains daripada penerima Anugerah Nobel yang seharusnya diberikan kepada pelaku sains.

    1. Lah sapa pula yang mau ngasih Dawkins hadiah Nobel? (Lagipula apa ada hadiah Nobel Biologi atau sebangsanya?) Pekerjaan ilmiah Dawkins kurang menonjol, tentunya itu relatif terhadap kerjaan siapa (kalau relatif terhadap kerjaan Engkong Darwin ya lewat lah). Umur 28 Dawkins udah nulis di Science, itu udah lumayan banget bisa bikin terobosan pada umur segitu, lha gw udah 30 tahun masih begini2 aje.

      1. Ilmuwan dan selebritis biasanya orang yang terpisah, kecuali beberapa yang beruntung, misalnya, Einstein. Dawkins karena banyakan selebritisnya dan karya public relations-nya, jadi kurang konsentrasi dan mencurahkan perhatian serta tenaganya sebagai saintis. Karya Dawkins dibandingkan siapa? Dibandingkan Darwin? Nggak usah, bandingkan saja dengan para pemenang Nobel fisiologi dan kedokteran.

      2. Bung palangkaraya2008 dan Rainny Drupadi (hanya penasaran: kalian ni orang yang sama ya?), mari kita lakukan eksperimen sederhana saja untuk melihat seberapa pengaruhnya sih nama2 besar—dalam biologi misalnya—ini di kalangan rekanannya (peer). Pakai yang kuantitatif saja lah. Parameternya satu saja biar sederhana: impact factor dari paper2 yang sudah mereka terbitkan dalam jurnal ilmiah yang peer-reviewed. Ada banyak cara untuk menghitung ini, saya pakai h-index Hirsch (Hirsch, 2005) yang bisa dihitung lewat add-on firefox yang terkopel dengan Google Scholar.

        Halaman 16572 dari paper Hirsch yang tautnya sudah saya beri di atas melaporkan hasil perhitungan h-index sepuluruh ilmuwan biolog dan biomedik terbaik sebagai berikut: S. H. Snyder, h = 191; D. Baltimore, h = 160; R. C. Gallo, h = 154; P. Chambon, h = 153; B. Vogelstein, h = 151; S. Moncada, h = 143; C. A. Dinarello, h = 138; T. Kishimoto, h = 134; R. Evans, h = 127; dan A. Ullrich, h = 120 (terus terang saya gk kenal dengan mereka semua karena biologi dan biomedik bukan bidang saya). Oke, nilai ini saya gunakan untuk mengkalibrasi perhitungan saya dengan Google Scholar: Snyder, h=184; Baltimore, h=170; Gallo, h=143; Chambon, h=164; Vogelstein, h=173. Oke hasilnya beda2 tapi namanya ini juga riset partikelir dan saya mengabaikan kesalahan seperti kesamaan antara dua atau lebih nama yang dihitung satu, tapi ya sudah toch hasil yang diberikan google scholar tidak jauh beda dan perbedaannya masih dalam deviasi standar yaitu sebut saja \sqrt{h_{hirsch}}.

        Oke, saya rada yakin bahwa hasil google scholar cukup reliable dan rentang kesalahannya tidak terlalu brutal. Saya ketikkan author:”R. Dawkins” untuk mengetahui berapa sih h-index Dawkins dan keluarlah angka h=65 (plain value). Tentu saja nilai h ini mengikutkan buku2 populer yang sudah ditulis Dawkins semisal The Selfish Gene, The Blind Watchmaker, atau Climbing Mount Improbable. Tentu saja ini bukan jurnal peer-reviewed dong jadi buku2 ini tidak saya ikutkan dalam perhitungan, termasuk yang diabaikan adalah tulisan2 Dawkins di Scientific American atau di New Scientist, dan saya luangkan waktu untuk menghapus juga dari perhitungan nama2 ilmuwan dengan nama belakang Dawkins tapi nama depannya bukan R (ternyata lumayan banyak). Hasilnya: h=35.

        Dengan demikian h-index Dawkins berkisar antara nilai minimum 30an hingga maksimum 60. Apa ini artinya? Bila kita lihat halaman 16571 di paper Hirsch, h=20 menandakan ilmuwan yang terbilang sukses, h=40 adalah ilmuwan yang menonjol (outstanding), dan di atas 60 adalah orang yang unik.

        Bagaimana bila Dawkins kita bandingkan dengan rekan2nya sesama ahli biologi dan biomedik? Kembali kita kepada halaman terakhir dalam paper Hirsch, saya kutipkan data h-index dari 36 anggota baru Akademi Ilmu Pengetahuan Amerika Serikat pada tahun 2005: h rata-rata = 57, deviasi standar h = 22.

        Saya perlu ingatkan bahwa h-index minimal Dawkins ini adalah h-index yang sudah divoor. Kriterianya diperketat hanya jurnal2 yang peer-reviewed, sementara untuk biolog dan biomedik lain saya tidak menyeleksi kerjaan mereka (ya sekali lagi maklum lah namanya juga penelitian partikelir dan kecil2an). Saya kurang tahu apakah Snyder, Gallo, dll pernah nulis buku populer sengetop Dawkins apa tidak. Kalau memang ada, maka perlu divoor juga.

        Apabila dibandingkan ilmuwan2 paling sakti dalam biologi, Dawkins jelas kalah telak. Namun bila kita bandingkan dengan anggota2 NAS (National Academy of Sciences), ya Dawkins sebanding lah dengan mereka, paling tidak masuk dalam limit 5 sigma. Lha wong h=18 aja udah bisa masuk NAS.

        Dan… tidak semua pemenang Nobel punya h-index yang teramat tinggi. Lihat saja Gambar 2 dalam paper Hirsch, rata-rata h-index-nya 41. Sayangnya ini adalah pemenang Nobel Fisika dan tidak bisa jadi pembanding untuk Nobel Fisiologi/Kedokteran karena sebagaimana ditulis Hirsch, h-index ahli2 biologi dan biomedik cenderung lebih tinggi daripada ahli2 Fisika karena jumlah ilmuwan yang bekerja di situ lebih banyak jadi kemungkinan untuk disitasi juga banyak. Saya coba masukan saja ahli Biologi Pemenang Nobel yang saya ketahui: Francis Crick, h=65; Alexander Fleming=27; Françoise Barré-Sinoussi=50. Dengan demikian perlu dipertanyakan pula mengapa seorang ilmuwan harus dibandingkan dengan rekannya yang menang Nobel, karena ternyata gk ada hubungannya Hadiah Nobel dengan kapabilitas seseorang sebagai ilmuwan.

        Sebaliknya, banyak pula non-pemenang Nobel yang punya h-index jauh melebihi rekan2nya yang sudah memenangkan Nobel. Ed Witten adalah contoh paling menonjol. Kurang apa lagi coba Ed Witten, sudah menang Fields Medal, menciptakan M-Theory, banyak dipuji rekan2nya, kok gk menang Nobel?

        Kalau memang ada yang ingin disimpulkan dari eksperimen kecil nan sederhana ini: Apabila kontribusi Dawkins dibandingkan dengan ilmuwan pada umumnya (e.g. seperti (barangkali) Anda, saya, dosen saya yang sudah pensiun, dan ribuan orang yang terlibat dalam proyek-proyek raksasa misalnya Large Hadron Collider, WMAP, Human Genome Project), maka Dawkins adalah ilmuwan yang tergolong sukses, kalau tidak mau dibilang menonjol. Hadiah Nobel ternyata bukan satu2nya parameter karena banyak ilmuwan yang sudah berkontribusi pada ilmu pengetahuan tapi tokh tidak dikasih Nobel. Apabila dibandingkan dengan para jenius dan dewa, ya jelas Dawkins lewat lah. Tapi ilmuwan kan tidak hanya terdiri atas para dewa.

        Terakhir, saya perhatikan bahwa h-index average-nya ahli2 fisika dengan ahli2 biologi beda sekali. Ini menunjukkan keberagaman jumlah populasi ilmuwan pada bidang tertentu. Mungkin akan lebih tepat membandingkan seorang ilmuwan dengan peer-nya di bidang yang sama. Jadi perlu juga kita mencari tahu berapa h-index rekan2 dawkins sesama ahli Etologi, misalnya.

        Dan juga sedikit peringatan: menggunakan h-index bukan satu2nya pendekatan untuk “mengukur” atau menilai pengaruh dan/atau kontribusi seseorang pada ilmu pengetahuan. Ini hanyalah satu cara saja yang agak2 kuantitatif.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: