PERINGATAN: Artikel ini penuh spoiler, sebaiknya tidak dibaca apabila belum membaca bukunya atau menonton filmnya. Saya juga bukan psikolog, jadi ambillah pendapat saya hanya dengan sejumput garam.
Ada sebuah potensi besar yang terlewatkan dari film The Architecture of Love (TAOL), yakni kisah mengenai dua manusia menghadapi trauma masa lalunya. Sayangnya kisah yang disajikan menjadi suatu kisah misteri mengapa River Jusuf (Nicholas Saputra) bolak-balik saja seperti setrikaan. Sepanjang film, para pembuat film perlahan-perlahan menjatuhkan potongan-potongan petunjuk dan kita penonton, bagaikan Hänsel dan Gretel, mengikuti petunjuk tersebut sambil tebak-tebakan. Menjelang akhir film dikuak bahwa River ternyata menghadapi rasa bersalah penyintas (survivor guilt) dan gangguan stress pascatrauma (post-traumatic stress disorder atau PTSD). Istrinya, dan juga janin anaknya yang masih dalam kandungan, meninggal dalam suatu kecelakaan mobil yang dikendarai River. River menghadapi traumanya dengan mengasingkan diri ke New York, dan di sana bertemulah ia dengan Raia Risjad (Putri Marino) yang juga sama-sama mengasingkan diri ke New York untuk menghadapi trauma diselingkuhi suaminya. Keduanya saling jatuh cinta namun persoalan utama River baru diungkapkan menjelang akhir film di hadapan adiknya, Aga (Jerome Kurnia): Ia masih mencintai mendiang istrinya dan mungkin untuk selamanya.
Ketimbang menjadi kisah misteri apa sesungguhnya masalah River, menurut hemat saya film ini bisa menjadi lebih menarik apabila sedari awal trauma River dibuka kepada penonton, sebagaimana trauma Raia dikhianati suaminya ditunjukkan di awal film. Film ini seharusnya menjadi kisah mereka saling membantu mengatasi trauma masing-masing, atau meminjam istilah dalam serial How I Met Your Mother, saling membantu meringankan bagasi emosional masing-masing dengan menggotongnya bersama-sama. Saya jadi merasa terampok dari sebuah cerita yang lebih menarik dari yang disajikan di hadapan saya. Bahwa River akan selamanya mencintai mendiang istrinya seharusnya menjadi alur cerita besar yang harus dihadapi keduanya, apalagi mengingat kisah masa lalu Raia yang dikhianati suaminya. Barangkali pada awalnya akan sulit bagi Raia untuk bisa mempercayai komitmen River dan tentunya ini berpotensi menjadi sumber konflik utama dalam film, namun tentunya ia bisa menyadari bahwa masih ada tempat yang lapang di hati River untuk menjadi ruang mereka membangun kisah dan kenangan bersama. River yang dihantui rasa bersalah untuk memulai hubungan romantik baru tentunya juga seiring waktu bisa menyadari bahwa ia bisa menghormati baik kenangan mendiang istrinya dan sekaligus hubungan barunya dengan Raia. Cerita tentang kedua insan ini berproses menuju penyembuhan trauma masing-masing, dengan segala kemajuan dan kemundurannya, menurut hemat saya adalah cerita yang jauh lebih menarik daripada cerita tentang tebak-tebakan apa masalah River sesungguhnya. Bukankah akan lebih menarik apabila kebiasaan River untuk menceritakan sejarah bangunan-bangunan di New York kepada Raia sesungguhnya adalah bagian dari cara dia untuk mempertahankan kenangan akan istrinya (misalnya karena mereka berencana untuk liburan ke New York?), dan bukannya tanpa penjelasan dan harus terima sebagai keunikan tokoh ini? Menonton cerita klise tentang laki-laki dengan segala problematikanya dan semua karakter berkutat untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah sebuah cerita yang sudah terlalu sering diceritakan.
Film ini sesungguhnya tidak menghadirkan penyelesaian terhadap trauma River. Secara ajaib ia mampu mengatasi masalah-masalah psikologis yang dihadapinya. Tiba-tiba ia memutuskan kembali ke Jakarta, mengambil proyek arsitektur bersama mitranya, menemui keluarganya, sampai akhirnya berani ziarah ke makam mendiang istrinya. Ia menghadapi Raia dan mendeklarasikan komitmennya untuk tidak lagi hilang-timbul dalam kehidupan Raia. Penyelesaian ini sungguh sangat instan. Apabila diibaratkan membaca buku, ini seperti lompat ke halaman terakhir untuk melihat akhir cerita. Kita jadi memperoleh kesan yang keliru tentang proses penyembuhan trauma yang tentunya kompleks dan tanpa tenggat waktu. Tentunya seseorang dengan trauma sedemikian tidak bisa sembuh hanya dengan secara instan memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan menghadapi semua masalahnya.
Karena proses penyembuhan River yang ujug-ujug ini, di akhir film kita jadi bertanya-tanya apakah hubungan Raia dengan River akan sintas? Raia tentunya tahu perasaan bersalah penyintas dan PTSD yang dialami River, namun apakah ia Raia juga tahu bahwa River sesungguhnya masih mencintai mendiang istrinya, dan bagaimana perasaannya terhadap ini? Apakah pertanyaan-pertanyaan ini sengaja tidak dijawab karena memang disiapkan untuk dibuat sekuel?
Trauma tentunya adalah suatu tema kompleks yang seharusnya bisa didekati oleh para pembuat film dengan segala kepekaan yang selayaknya diberikan, dengan resolusi yang bisa menginformasikan kita tentang pendekatan yang buruk maupun yang lebih baik. Saya tidak mau pura-pura punya jawabannya tentang bagaimana melakukan ini, namun saya bisa bilang bahwa film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film berani menjelajahi tema cinta pasca kedukaan tanpa takut menyelami kompleksitasnya, dan oleh karenanya film ini jauh lebih baik daripada TAOL. Dalam film ini, karakter Bagus mencoba mendekati teman SMA-nya, Hana, yang belum lama menjanda ditinggal mati suaminya. Melalui karakter Bagus kita ditunjukkan bagaimana mendekati tema ini secara buruk dan bagaimana melakukan pendekatan yang lebih baik. Dengan peka dan penuh pertimbangan film ini pun berani untuk tidak menyodorkan akhiran yang “bahagia’’ (walaupun tetap memberikan harapan), karena film ini sadar bahwa penyembuhan trauma adalah proses panjang yang melampaui durasi sebuah film.


Leave a comment