Dengan selesainya riset kecil gw tentang deteksi bintang hipercepat alias hypervelocity stars (HVS), maka kini gw bisa mulai konsentrasi ujian dan mulai mencari-cari topik tesis (hasilnya yang dah final ada di sini. Gw dapat 8.5 dari 10 point looohhh :D).
Sebelum itu, perlulah gw tulis hari-hari pertama gw memulai riset kecil yang memakan waktu 10 bulan ini, hari-hari ketika gw masih meraba-raba dalam kegelapan dan berusaha memulai segalanya dari nol. Pada dasarnya, proyek riset ini masih rada-rada nyambung dengan apa yang sudah gw kerjakan, paling tidak masih ada urusannya dengan transformasi koordinat dan seleksi data, sebagaimana pernah gw kerjakan dalam tesis S1.
Saat hendak menyusun kriteria awal, gw mengkutak-katik sifat-sifat kinematika sebuah bintang hipercepat. Intinya adalah: bagaimana menggunakan pengetahuan kita tentang gerak bintang hipercepat untuk mengetahui arah dan kecepatan geraknya. Cara yang gue kembangkan betul, tapi juga memusingkan. Prosedurnya panjang dan melibatkan matriks yang memusingkan. Masalahnya adalah karena gw terlanjur main tabrak pada sistem koordinat bola dan tidak memulai dari sifat-sifat umum sebuah kerangka acuan.
Setelah mempresentasikan teknik gw di depan Anthony dan Yuri, Anthony komentar. “Hmmm…kelihatannya boleh juga. Gimana, Yuri?”
“Kenapa sih mulai dari sistem koordinat dulu? Gimana kalau kita mulai saja dari vektor yang bebas kerangka acuan.”
“Kayak gimana tuh?”
“Gini…” Yuri lalu maju ke whiteboard dan menggambar bintang, pusat galaksi, dan sebuah sembarang bintang hipercepat.
“Misalnya ini bintang hipercepat. Kita tahu kalau bintang ini bergerak langsung menjauhi Pusat Galaksi.” (Yuri menggambar vektor pada bintang menjauhi Pusat Galaksi)
“Nah lalu ini matahari. Ini vektor garis pandang menuju bintang, lalu ini vektor menuju Pusat Galaksi.” (Yuri menggambar dua vektor, dari matahari ke bintang dan dari matahari ke Pusat Galaksi).
“Kalau kita ambil produk silang (cross product) dari dua vektor ini, sebut aja vektor e, lalu kita ambil dot product dari vektor e dengan vektor garis pandang menuju bintang, maka hasilnya nol. Demikian juga dengan dot product vektor e dengan vektor dari Pusat Galaksi ke bintang hipercepat.”
Lalu terjadilah perdebatan (agak lupa detailnya gimana). “Ya tapi secara statistik bagaimana? Ini linear gak? Bla bla bla…” tanya Anthony.
Jawab Yuri, “Ya begini bla bla bla… itu sudah termasuk…”
“Lah tapi kan bla bla bla…” sanggah Anthony.
Yuri terdiam lalu cengar-cengir, “Tunggu…tunggu,” lalu sambil mikir dan sambil tetap cengar-cengir mengeluarkan kalimat paling keren, “This is actually a clever idea.”
Dan Anthony menjawab, “Oh yes I know…and I’m curious about it,” sambil cengar-cengir juga. Nampak betul bahwa jawabannya sebenarnya sudah terpikir namun masih di ujung lidah.
“Ngomong-ngomong kamu setuju gak dengan ini?” Tanya Anthony pada gw yang dari tadi terbengong-bengong saja mendengarkan perdebatan mereka (pakai bahasa dewa sih, hehehehe…). Gw tanyakan pertanyaan minor tentang langkah-langkah itu, Anthony menjelaskan sementara Yuri mikir dan muncullah kesimpulan:
“A-ha! Gini aja. Kalau begini kita bisa ngitung jarak bintang itu…”
“Lha tapi kan jaraknya kita dah tahu, ngapain dihitung lagi?”
“Ya kalau bintang itu bintang hipercepat, jaraknya segini….”
“Lalu kita bisa bandingin dengan jaraknya yang diamati? Haaa…ngerti gw! Jadi kita asumsikan dulu semua bintang adalah bintang hipercepat, lalu kita bandingin jarak itu dengan jarak yang diukur. Ya sudah Tri, kita begitu aja kerjanya. Kamu mengerti gak?”
Hmm…masih gak nyambung. “Bisa gak persamaan itu diturunkan lagi?” Gw tanya.
“Kamu maju aja, kerjakan di papan,” kata Yuri.
Lalu gw maju ke papan dan menurunkan lagi persamaan itu dari asumsi-asumsi dasarnya. Akhirnya gw bisa mengeluarkan persamaan yang diturunkan Yuri.
“Oke beres ya Tri. Persamaan ini masih pakai bentuk umum. Kamu kerjakan persamaan itu dalam koordinat bola, dan buat persamaan yang mengaitkan itu dengan besaran-besaran teramati.”
“Oooh…oke deh.”
“Minggu depan kita ketemu lagi, okeh?”
“Okeh.”
Dalam satu jam itu, kami bertiga (lebih tepatnya mereka berdua) membuat kemajuan besar dalam langkah-langkah pertama. Kemampuan teoritis Yuri ditambah dengan naluri observasi Anthony berkontribusi dalam penciptaan proses awal seleksi bintang hipercepat. Robert Oppenheimer pernah berkata, “Genius sees the answer before the question.” Mungkin ini bukan persoalan kejeniusan tapi inilah yang namanya intuisi, terasah dari pengalaman bertahun-tahun. Seorang ilmuwan kadang-kadang, berdasarkan pengalamannya, memiliki semacam naluri untuk menjawab suatu masalah. Saat rehat kopi, gw ngobrol-ngobrol dengan Yuri. “Kok bisa terpikir sih cara itu?”
“Yaaa…dari pengalaman. Tenang saja, nanti kamu juga lama-lama terbiasa dengan itu.” Lagi-lagi pertanyaan bodoh. Tentu saja Yuri sudah bertahun-tahun berurusan dengan vektor dan kinematika, dengan fisika teori, dan problem-problem seperti ini sudah menjadi hal yang biasa baginya. Hal terpenting yang gw peroleh pada hari itu adalah: hari ini kita mungkin tidak tahu jawaban sebuah permasalahan, tapi yang terpenting adalah mencari cara untuk menjawab persoalan itu. Ini bukan persoalan mudah, dan untuk itu membutuhkan pengalaman. Dengan pengalaman, intuisi terbentuk dan kita dapat menentukan arah untuk menjawab sebuah persoalan. Banyak sekali ilmuwan-ilmuwan yang kadang-kadang hanya punya ide atau arahan untuk menjawab sebuah persoalan tapi karena sesuatu dan lain hal lalu tidak dapat mengelaborasikan ide atau arahan itu lebih lanjut. Dalam buku Mekanika Landau & Lifshitz konon katanya banyak sekali-sekali pernyataan-pernyataan yang belum dibuktikan dan lebih bersifat intuitif. Landau & Lifshitz mungkin mengharapkan generasi berikutnya yang membaca buku itu yang akan mengelaborasikan pernyataan-pernyataan setengah matang dalam buku itu.
Solusi yang disusun Yuri untuk menjawab persoalan mengenai kinematika HVS, boleh dikatakan adalah solusi yang cerdik (dalam bahasa matematika: elegan). Dalam matematika, ada banyak cara untuk menjawab sebuah persoalan, namun solusi yang lebih dihargai adalah solusi yang paling elegan. Elegansi inilah yang banyak dicari orang-orang, dan bagi matematikawan, elegansi adalah sesuatu yang keren. Kenapa solusi ini bisa dibilang keren atau elegan? Salah satu jawaban adalah karena solusi ini lebih cepat, mudah, dan lebih sederhana. Secara statistik pun solusi ini lebih enak dikerjakan karena besaran-besarannya bergantung secara linier. Alasan lain adalah karena pendekatannya yang berbeda dari pendekatan konvensional. Gw beruntung sekali bisa menyaksikan suatu ekspresi penuh kepercayaan diri seorang fisikawan teoritis yang dari awal bisa melihat bahwa ini adalah suatu ide yang cerdik π
Selama satu minggu berikutnya gw menurunkan kembali persamaan itu dan mengerjakan aplikasi persamaan itu pada Sistem Koordinat Galaktik. Untuk yang tertarik pada penurunan matematikanya, bisa dibaca pada Bab 2 dari laporan riset yang link-nya sudah gw berikan di atas. Anthony juga mengerjakan hal yang sama dan bersama-sama kami mendiskusikan implikasi statistik dari persoalan ini. Berbulan-bulan kemudian…selesai lah laporan itu dan selesai pula satu fase dari kehidupan gw sebagai mahasiswa program magister di Observatorium Leiden. Selama sepuluh bulan mengerjakan ini, banyak pengalaman unik dan aneh-aneh yang mungkin tidak akan dialami di Indonesia, atau adalah pengalaman khas meneliti di Belanda:
- Lagi asik nulis kode Fortran, tau-tau mati lampu. Semua orang pada heboh dan suasana jadi kayak mogok kerja. Kalau di Indonesia, mati lampu mah wajar. Lha ini di Blendong?
- Anthony pusing karena kode Fortran gw gak memberikan hasil yang sama dengan kode Java yang dia tulis. Kami sama-sama meriksa kedua kode di depan kompie gw. Ternyata kode Anthony ada yang salah dan ada juga kesalahan gw. Hasilnya: Anthony salah 2, gw salah 1, hehehehee… π
- Belajar IDL, software pengolah data yang oke punya buat bikin grafik. Brent Groves baik deh, dia nawarin dirinya untuk ngajarin gw IDL. Asiiikkk…Thanks, Brent!
- Mau minta data dari Michel Mayor, tapi Anthony gak setuju. Akhirnya Rudolf Le Poole yang ngamat pake teleskop di Pulau Canary, hehehehe…
- Dinasihatin Anthony supaya jangan sering-sering nginep di kantor. “Kalau begini terus kamu nanti bisa kena mental breakdown. Serius loh!” Hehehehe…padahal waktu itu selain lagi sibuk, gw juga lagi gak punya rumah alias baru diusir dari apartemen.
Hebat, bisa mati lampu…
Kalo di ITB lampu mati hari Sabtu, alamat gak bisa internetan di jurusan dan di Bosscha sampai hari Senin… π
dari dulu ngga’ pernah ngerti bidang kamu karena serius sekalskiiii.. tapi tenang, udah gw masukin ke friends of omu..
selamat belajar dan riset dan menelusuri semesta yaks!
hoi koncret, lu jadi pulang dulu ke indonesia ga?
Intuisi mesti dibangun lewat pengalaman. Keknya gw pernah denger dari siapa gitu, pernah melihat sendiri kejadiannya. Sayang di kampung halamanmu intuisi sering ga dihargai.
Intuisi mesti dibangun lewat pengalaman? So pasti, kan gw dah bilang di atas π
Gak bisa balik gw ke Indo coy, ada ujian bok! π¦
Alaaaj, jangankan pulang ke Indonesia, rencana kencan sama kecengan di Italiano aja nggak jadi… hakhakhak… udah ketemu lagi belum sama … tring tring? π
Ya gitu deh, namanya juga lagi banyak kerjaan dan lagi bokek, hehehehe…
Udah tuh ketemu lagi sama…tring…tring…:D semenjak kemarin. Tadi makan siang bareng, hehehehe…
wow..
congrats yah, atas brilliant idea utk teme tesis..
hehe..
kpan selesai? ;p
saya pernah melihat suatu benda langit yang bergerak. saya melihat benda tersebut seperti bintang. pertanyaan saya adalah Apakah yang saya lihat itu merupakan bintang hipercepat? terimakasih sebelumnya.