Nederlandse Astronomen Conferentie (NAC), Konferensi Astronom Belanda, adalah pertemuan tahunan para astronom Belanda yang diadakan di suatu resort yang sedikit turistik, jadi ada kombinasi liburan yang santai sekaligus konferensi serius. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan hasil-hasil penelitian terbaru, berbagi ide, dan sebagai ajang sosialiasi astronom Belanda. Direktur Observatorium Leiden, Tim de Zeeuw, dengan berkelakar juga menambahkan bahwa ini adalah kesempatan untuk bertemu astronom-astronom legendaris yang disangka sudah lama mati (karena kita membaca paper mereka yang ditulis 20an tahun lalu) tapi ternyata masih ada. Paling tidak itulah kesan Tim saat pertama kali menghadiri NAC.
Karena gw hanyalah mahasiswa master kacangan dan belum punya penelitian untuk dipresentasikan, maka satu-satunya cara untuk menghadiri konferensi itu tanpa bayar adalah dengan menjadi sukarelawan. Tugas gw cukup ringan, hanya memegang mikrofon dan mengantarkannya kepada orang-orang yang mau bertanya. Harus sedikit sigap supaya proses tanya jawab berjalan cepat. Dan benar kata Tim, ini adalah kesempatan untuk bertemu astronom-astronom senior dan bertukar ide. Dalam makan malam di hari pertama, di depan gw duduk Friso Olnon, seorang programmer yang bekerja untuk JIVE. Friso bercerita bahwa dia mengambil PhD di Leiden di bawah bimbingan Harm Habing lalu mengajar sebentar di Leiden, dan mengenang masa-masa ketika Tim de Zeeuw masih jadi mahasiswanya, hari-hari ketika dia masih sarjana satu di Amsterdam, dan bagaimana Jan Lub, rekannya yang sesama Amsterdamers juga mengambil PhD di Leiden. Ketika gw sebut The Pik Sin, orang Indonesia lulusan Departemen Astronomi ITB yang kemudian pindah ke Amsterdam, dia kenal. Lalu dia sebut juga orang Belanda yang pernah bekerja di Indonesia, Gale Bruno van Albada (Guru Besar Astronomi pertama di Departemen Astronomi ITB dan Direktur Observatorium dari 1951 hingga 1958), yang tentunya gw tahu dong.
Friso pergi untuk mengambil cuci mulut dan pembicaraan dilanjutkan dengan Bahasa Inggris setelah gw mengakui bahwa Bahasa Belanda gw katro, heheheheee (meskipun gw kaget juga bahwa gw bisa menangkap apa yang dia omongin di paragraf sebelumnya) Dia penasaran bagaimana hubungan gw dengan The Pik Sin. Gue jelaskan dong bahwa gw orang Indonesia dan sering baca tentang The Pik Sin. Oooh ngarti deh dia. Lalu dia curhat bagaimana zaman telah berubah. Sekarang astronomi adalah komunitas internasional dan bahasanya adalah Bahasa Inggris. Pada tahun 1970an, sedikit sekali mahasiswa dari luar Belanda dan semua orang di Amsterdam (Amsterdam di sini maksudnya adalah Sterrenkundig Institute “Anton Pannekoek”) berbicara dalam bahasa Belanda. Hanya Leiden, yang pada saat itu sudah menjadi Mekah-nya astronomi Belanda, yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Friso yang datang dari Amsterdam awalnya kesulitan namun lama-lama terbiasa. Amsterdam kemudian mengikuti kebiasaan Leiden ketika semakin banyak orang dari luar Belanda berdatangan. Di Jerman, hal yang sama juga terjadi. Kolokium semuanya diadakan dalam Bahasa Jerman. Tentu sekarang semuanya telah berubah dan hampir semua institut astronomi terkemuka di dunia menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari (kecuali di Yunani, mungkin. Kata Giorgios dan Theodora, mahasiswa master di Utrecht, tidak hanya semua orang berbicara Bahasa Yunani, bahkan thesis PhD pun ditulis dalam Bahasa Yunani!).
Friso tidak punya masalah dengan Bahasa Inggris, dia sudah banyak berpindah-pindah pekerjaan dari satu institut ke institut lainnya, sebelum akhirnya menetap di Observatorium Radio Dwingeloo. Kini ia berhenti menjadi astronom dan lebih banyak bekerja sebagai programmer untuk proyek JIVE. Berbicara soal pindah-pindah, gw jadi teringat soal keluarga. Sudah lama gw membaca tulisan-tulisan Sten Odenwald tentang karier di astronomi. Dia mengingatkan bahwa kerja di penelitian astronomi sangat keras, persaingannya ketat, dan hanya orang-orang terpintar yang bisa bertahan. Singkatnya, di Amerika, karier astronomi adalah perpindahan dari satu kontrak pascadoktoral (postdoc) ke kontrak lainnya, berpindah-pindah dari satu sudut dunia ke sudut lainnya, hingga akhirnya kita bisa dapat pekerjaan yang tenure-track di salah satu universitas. Puncak karier seorang astronom adalah mencapai tenure, tenang-tenang mengajar, dan inilah stabilitas karier maupun finansial (the good life, kalau kata Sten). Fase pascadoktoral adalah masa-masa paling menuntut dalam karier seorang astronom dan banyak sekali pernikahan yang gagal dalam fase ini. Kita bisa bekerja hingga 60 jam seminggu dan bahkan lebih untuk yang masih jomblo atau sudah bercerai (dan kata Sten ini banyak sekali. Sebagian besar koleganya jombo atau cerai). Sten berpesan, “pastikan bahwa pasangan Anda siap berpindah-pindah kira-kira setiap 2 tahun.” Pada suatu titik, kita memang harus memilih: karier atau keluarga?
Friso, sebagai astronom senior yang kini sudah hampir pensiun, punya jawaban: ia memilih keluarga. “If you think that astronomy is a living that you cannot passed, then go for it! You’re not gonna regret it.” Begitu anjurnya, bila kita memang benar-benar serius. “But I realized that life is far richer than astronomy,” sambungnya. “Saya punya istri dan anak-anak saya butuh sekolah, sulit bagi mereka bila harus berpindah-pindah. Awalnya sangat exciting untuk berpindah-pindah pekerjaan, namun lama-lama kita menginginkan stabilitas.” Friso tidak menyesal meninggalkan astronomi. Ia tahu batas-batasnya. “I’m not a genius, and I’m not even good. I’m just a hard-working astronomer and that is how I kept my job for years.” Itulah sebabnya kenapa ia kemudian menetap di Dwingeloo, ia memilih keluarga dan meninggalkan astronomi untuk menjadi programmer untuk Teleskop Radio Dwingeloo, sebuah pekerjaan yang lebih stabil dan permanen. “I never regret it ever since,” simpulnya.
Salah satu saran Gale Bruno yang diingat Friso adalah, “jangan menikah dengan sesama astronom. Tidak semua institut astronomi punya lapangan pekerjaan yang cukup untuk kalian berdua.” Ujung-ujungnya, van Albada melanggar nasihatnya sendiri dan menikah dengan Elsa van Dien, hehehehe… Tapi memang hanya pasangan astronom yang benar-benar eksepsional seperti keluarga Burbidge (Geoffrey dan Margaret, keduanya adalah peraih Medali Bruce), keluarga Bok (Bart dan Priscilla), atau keluarga de Vaucouleurs (Gérard dan Antoinette) yang benar-benar bisa bertahan (tapi mungkin juga pernikahan yang membuat mereka jadi eksepsional?). “Memangnya kamu sudah punya gandengan?” Tanya Friso. “Belum Pak, saya masih tunggal alias single, hehehehe…” Gw jelaskan bahwa gw hanya banyak baca di websitenya Sten soal masalah-masalah dalam kehidupan pribadi astronom. “Wah, kamu memikirkan masa depan juga ya,” komentarnya (hehehe…jadi malu :p). Dari sini dia mengkritik orang-orang yang sekarang sedang kerja pascadoktoral secara membabi-buta dan cenderung tidak memikirkan masa depan. Kehidupan tidak hanya berisi astronomi semata, demikian katanya. Friso masih ingat bahwa sepanjang kariernya, banyak juga kolega-koleganya sesama astronom yang meninggalkan dunia astronomi sama sekali karena mereka lebih memilih keluarga. Cepat atau lambat, kita memang harus membuat pilihan, dan kadang-kadang ini hanya persoalan intuisi. Lebih sering lagi, tidak mungkin keduanya (urusan karier dan keluarga) bisa kita peroleh, jadi ambillah keputusan yang tidak akan kita sesali di kemudian hari…
Hooh, ternyata dalam karir astronomi pun meski berjibaku ya. Hmm, yeah, kalau di negeri yang dunia astronominya subur makmur gemah ripah loh jinawi gitu kali ya… Indonesia? Malah bingung mikir kerja di mana hehehe.
In the end… life is a matter of choice…
Kalau kita di Indonesia pilihannya juga sulit Na: mau kerja di astronomi tapi gajinya kecil atau tinggalkan astronomi dan cari pekerjaan bergaji gede, hehehehe…
Intinya sih dari cerita Friso, kalau menurut gw adalah, adalah bahwa hidup itu gak mesti sebuah usaha untuk mencari yang enak-enak saja seperti stabilitas karier, gaji gede, atau whatever. Yang gak enak-enak bisa enak juga nantinya kalau dilihat ke belakang, hehehehe…
Kok gue ngerasa blum baca paragraf terakhir tulisan lo ini ye. Komentar gue: gue juga nggak mau menikah sesama astronom. Bukan masalah karir alasannya melainkan .. yah kan sesama (prodi) astronomi saudara wong se-FMIPA aja sodara heheheheheheh… Nggak sih gue pengen nikah sama orang dari bidang lain, kalau bisa sejauh mungkin dari astronomi, biar anak-anak gue nggak makan astronomi mulu dari ortunya dan gue juga ga saturasi dg astronomi *halah*. Klo mereka nanya2 non sains biar ada yg bantuin jawab hahaha.
Itu baru ditambahin Na, gw baru inget omongan itu belakangan. Kayaknya Gale Bruno dan Elsa itu cinlok deh, hehehehe…
Tapi kalau sama-sama astronom sih gw juga males, nanti bosan lagieh gak ada bahan obrolan lain, hehehehe…
sesama astronom? arghhhhhhhhhhhh bisa gila gue!!!!!!!!! sekarang aja udah almost nih hehehehe.
life is a matter of choice. so kalo mang tujuan n visi dalam hidup ada diastronomi n prioritas di astro go for it. ketika kita diperhadapkan dnegan pilihan itu.. gue yakin at the time kita bakal tau apa yg jd pilihan kita.. masalahnya ada di prioritas hidup.
take it or leave it ajalah….
Kalau gak salah Friso juga bilang getoh, “take it or leave.” Tapi gw lupa2 inget untuk yg satu itu.
bok … foto yang pake kemeja item itu lhuwokh … nggak kuat hahahahahaha
Cieh, Tui, rapihan dikit loe sekarang.. =)
walah…..!!!!!
gw pikir lu tuh orang yang benar-benar berani mati buat astronomi tri. (osama bin ladennya astronomy)
Ternyata masih mikir juga toh…….
Kalo menurut gw sih tri, orang kayak lu tuh dibutuhin ama jurusan lebih tepatnya dibutuhin sama dunia astronomi di Indonesia bahkan Asia Tenggara…
Dan prinsip gw adalah selama kita bisa membuat “nilai tambah” buat orang lain maka duit pasti datang bos.
Saran gw-lu jangan balik dulu ke Indo tri paska beresin master lu, cari networking dengan para peniliti di dunia astronomi, cari cv research, dan cari duit penelitian di negara2 yang berlimpah grantnya (ini yang paling penting)
Hajar aja semua penilitian yang Grantnya gedhe, sekalipun bukan astronomi tapi bisalah domain fisika atau matematika.
(meritlah lu di sini) dan mulailah lu bikin finansial planning dan mulailah lakukan investasi di sektor finansial/moneter.
Banyak kan tuh kayak option, stock, danareksa, etc
baik yang dikelola sama fund manager atw lu plan sendiri
Sekitar lima tahun lu balik ke Indonesia atau negara2 asia tenggara, dengan grant, dengan cv research lu, networking lu dengan para peneliti luar negeri.
Gw yakin, soal duit-Universitas kayak Pelita Harapan, President University, NUS, atw universitas swasta di singapur or malaysia nangis-nangis minta lu stay di tempat mereka.
soal keilmuan, lu mulai bisa tuh “bersuara”.
soal keluarga, mulailah atur tuh, bikin plan buat keluarga lu.
nafkahi keluarga lu dengan hasil investasi lu di sektor finansial tadi.
Dan mulailah lu berkiprah untuk astronomi full time.
Ajak anak2 dan istri deket dengan lu di tempat penelitian, kalo perlu cari program Home School buat anak-anak lu, itu justru lebih bagus buat anak2 dan keluarga.
Intinya soal duit mulailah berinvestasi (kalo masih belum tahu ya mulai nabung) dari sekarang. sehingga ketika lu full di astronomi untuk bermain-main dengan semua impianmu di astro, lu nggak perlu menghidupi anak istri lu dari gaji seorang astronom.
Dapat semuanya khan kalo begini 🙂
sukses buat lu tri, blog lu bagus